Hello, Anna

5 1 0
                                    

Aku tak pernah tahu apakah ini tergolong hal baik atau justru buruk. Sisi baiknya adalah aku tidak mati. Buruknya ... ya, aku tidak mati. Anehnya lagi, aku kini hidup sebagai sebuah robot Anna. Kau tahu apa yang aneh? Aku merasa hidup, tetapi seperti mati.

"Ameera? Kau bisa mendengarku?" Aku melirik sedikit, menunggu kalimat apa yang akan Amma lontarkan dalam keadaan yang kurang bisa diterima akal sehat ini. Masih di dalam pelukannya, Amma mulai mengelus pucuk rambutku pelan sambil terus menangis.

Aku tidak menjawab, tepatnya tak bisa. Rasanya seakan-akan ini tubuhku, tetapi aku tak memiliki kendali atasnya. Aku hanya dapat mendengar dan melihat tanpa bisa melakukan apa yang aku inginkan. Sampai tiba-tiba jemariku bergerak dengan sendirinya.

Tunggu, itu bukan atas keinginanku.

Jemari kananku bergerak mengelus balik rambut Amma yang terurai panjang menutupi punggung. Apakah Anna yang melakukannya? Entahlah. Amma yang menangkap perlakuan tidak biasa itu reflek melepas pelukan dan di saat yang sama elusan jemariku terhenti. Tanganku jatuh lagi seakan kehabisan tenaga.

Kalau bisa, aku ingin mengambil alih badan ini barang sebentar saja. Namun, tidak bisa. Bagaimana caranya aku mengendalikannya? Bagaimana Amma memindahkan arus kesadaranku ke dalam tubuh robot saja sudah aneh. Apakah berarti tebakan Geo selama ini itu benar? Bahwa bahan bakar dari robot ini bukanlah listrik, tetapi manusia.

"A-Amma." Terjadi lagi, itu bukan aku. Rasanya seakan tubuh robot ini memiliki lebih dari satu pengguna, tetapi bagaimana bisa?

"S-selamat pagi, A-Amma." Tanpa diduga, tiba-tiba tubuhku berdiri dengan sendirinya. Aku bisa merasakan senyumku mengembang tanpa kukendalikan. Melihat pergerakanku, tiba-tiba Amma menangis lagi–bahkan lebih keras. Aku tidak paham, sebenarnya ada apa?

"Emma? Kau ada di sana?"

Ah, kenapa Amma tiba-tiba menanyakanku?

"Iya, Amma. Ini aku, Emma." Namun, agaknya sia-sia. Suaraku tak sampai ke sana, terlihat dari raut wajah Amma yang sama sekali tak berubah. Ditambah lagi dia beberapa kali mengulangi pertanyaan yang sama.

Keadaan ini membuat hatiku terasa sesak. Karena aku tak bisa melakukan apa pun selain ... tak ada, tak ada yang bisa kulakukan. Sampai tak lama kemudian, tiba-tiba pandanganku berubah hitam. Di sisi lain, Amma tiba-tiba berteriak, "Anna? Apa yang terjadi padamu? Anna?"

Sepertinya dia khawatir. Entah pada Anna atau padaku.

Tak butuh waktu lama, background hitam benar-benar menutupi segalanya. Kini sekitarku hanya dipenuhi warna hitam, seakan dikurung di dalam sebuah ruangan gelap tanpa lampu dan warna gelap itu sendirilah satu-satunya temanku.

Tak tahu mau melakukan apalagi, aku hanya bisa duduk termenung di pojok ruangan–walau aku tak yakin apakah itu memang pojok atau bukan karena ruangan ini seakan tak ada ujungnya. Sejauh mata memandang, tak ada tembok atau lantai. Aku hanya memijak tanah tak kasat mata. Biasanya aku akan bermain dengan Poppy, boneka yang selalu menemaniku makan di belakang pintu kamar. Namun, di sini aku benar-benar sendirian.

"Bagaimana pendapatmu tentang Amma?" Sampai tiba-tiba sebuah suara familiar muncul tepat di sebelahku. Itu suara Anna, hanya saja mungkin dalam versi yang lebih hidup? Benar saja, tepat setelah aku menoleh, aku melihat seorang gadis usia 10 tahun dengan sebuah jas hujan berwarna biru tua. Ketika dia membuka jas hujannya, tampaklah Anna di sana. Gadis itu, bagaimana bisa?

"Hah? Apa?" Aku kehilangan fokus.

"Amma. Bagaimana pendapatmu tentang dia?"

"Amma? Memangnya kenapa? Informasi tentang apa yang kamu mau tentangnya?"

"Entahlah. Apa pun."

Aku menunduk, banyak pola jawaban terukir di pikiranku. Jawaban-jawaban itu saling berebut untuk keluar dari mulutku, sedangkan aku masih bingung untuk memberikan respon seperti apa. Karena, sejujurnya ada sebuah gejolak batin di hatiku yang belum reda sepenuhnya. Tentang, siapa Amma sebenarnya.

"Entahlah. Aku tak begitu mengenal Amma dengan baik." Ya, semakin banyak informasi yang kudapatkan mengenai Amma, semakin sulit pula aku memahami dan mengenali sebenarnya siapa wanita yang selama ini berupaya keras untuk menyembuhkanku itu. Atau, sebenernya tidak?

"Begitukah? Aku sering melihatmu mengobrol dengan Amma. Misalnya, ketika kau melaporkan Geo karena dia menganggumu. Kupikir dia menyukaimu." Dapat kudengar gadis itu terkekeh pelan, menertawakanku. Aku hanya melirik sedikit, mengembus napas panjang, sambil mengingat-ingat apa yang selama ini Geo lakukan padaku.

Terlalu mengerikan, tetapi entah kenapa aku merindukannya. Kenapa? Karena di akhir hidupnya, ternyata dia masih memedulikanku. Aku juga penasaran, apakah yang Anna ucapkan benar adanya? Apakah Geo menyukaiku?

Reflek tercetak sebuah ingatan di memoriku, detik-detik Geo menyelamatkanku yang hendak menenggelamkan diri. Dia memelukku erat ketika itu, membuat jantungku berdegup kencang. Itu pertama kalinya ada orang selain Amma, mau memelukku. Lalu, benar juga, aku tidak menyadarinya. Geo ketika itu menangis. Lumayan meragukan, karena aku hanya membaca lewat cepatnya detak jantung dan alur napasnya.

Ketika dia memelukku, bisa kurasakan seluruh tubuhnya menggigil, mungkin karena basah oleh pakaianku. Apalagi itu tengah malam, siapa pun bisa jatuh sakit jika berendam–apalagi menenggelamkan diri di dalam bak terlalu lama. Aku tak pernah menduga ada orang lain yang masih menghargai hidupku. Bagaimana kabarnya sekarang?

"Kupikir kau tau banyak tentang Amma, kenapa malah bertanya padaku?" Aku bertanya, mengabaikan pemikiran bahwa kepedulian Geo besar kemungkinan merupakan simbol cinta atau semacamnya. Itu menggelikan, terutama untuk anak seumuran kami. Siapa yang tidak geli melihat anak seumuran kami membahas hal begituan?

"Kalau aku tau, aku tak akan bertanya. Seandainya saja aku tidak lupa ingatan." Anna tiba-tiba mengirimkan senyuman lebarnya, seakan mengirimkan pesan bahwa dia kuat dan tahan dengan semua ini. "Apalagi ketika Amma menangis dan berteriak memanggilku Ameera. Aku tidak tahu siapa Ameera."

Ini mengejutkan karena ternyata Amma memanggil nama Ameera tidak hanya sekali, juga bagaimana bisa hal ini berjalan persis seperti yang muncul di mimpiku. Apakah ini hanya kebetulan?

"Apa kamu mau membagi ingatanmu denganku? Aku juga ingin melihat ingatan anak lain, ingatan yang mungkin hilang dari memoriku."

Bingung, perasaan bimbang memenuhi rongga hatiku. Banyak pertanyaan bermunculan. Apa maksudnya membagi ingatan dan bagaimana caranya? Kenapa Anna ingin melihat ingatanku? Apa pentingnya untuk dia?

"Tenang saja. Kau tidak akan kehilangan ingatanmu, hanya saja mungkin akan ada beberapa ingatanku yang menyatu dengan ingatanmu. Kau bisa melihat ingatanku dan sebaliknya."

"Setelah itu apa?"

"Tolong ceritakan padaku, apa saja yang kau lihat dari ingatanku. Ya?"

Aku terdiam sejenak sampai akhirnya menyetujuinya. Aku juga penasaran, apa isi ingatan Anna. Mulai dari bagaimana dia bisa berakhir seperti ini, hilang ingatan, dan tinggal di dalam tubuh sebuah robot.

"Baiklah."

Tolong, Jangan Peluk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang