See You Again, Geo

7 2 0
                                    

Kalau boleh bilang, aku sungguh tak mengharapkan hari ini terjadi. Rasanya seperti, lebih baik tidak tahu sama sekali daripada sakit hati. Menjadi bodoh agaknya lebih menyenangkan. Karena banyak realita yang ternyata berkhianat pada ekspektasi. Banyak rasa sakit di luar sana yang bersembunyi di balik dinding kebodohan. Ah, mereka yang bersembunyi, atau justru kita?

Malam itu, masih di tempat para mayat bergelatakan, aku melangkah melewati jasad-jasad yang kian membusuk satu persatu. Jujur saja, rasanya sesak, walau mereka bukan temanku, tetap saja ini menyedihkan.

"Aku tak pernah tahu bahwa ada pemandangan seperti ini di dalam rumah." Aku berjongkok, menatap sebuah jasad yang amat kukenal. Miya, salah satu gadis yang dibully karena berteman dan dekat denganku. Namun, di sinilah dia, membusuk dengan amat menyedihkan.

"Kenapa kau malah berakhir seperti ini, Miya? Bukankah seharusnya kau pulang pada keluargamu?" Tanganku terulur, mendekat pada sebuah kalung antik yang masih bergelantungan di leher Miya. Itu kalung pemberianku. Harapanku, kami akan bertemu nantinya dalam keadaan sama-sama sembuh dan sudah dipulangkan. Jika saling lupa, maka kalung ini akan menjadi pengingatnya.

"Sudah? Ayo, pulang." Sepertinya Geo mulai tak nyaman dengan apa yang ada di depan mata. Dia menarik tanganku, mengajak keluar, tetapi aku masih enggan untuk beranjak. Ada banyak pertanyaan tentang apa yang ada di depanku saat ini. Di balik rasa ingin tahu ini, ada juga rasa sesak, tetapi entah kenapa aku tak bisa menangis. Bahkan setelah melihat semengenaskan apa jasad Miya.

"Emma." Geo mulai berdiri menghadapku, merogoh sesuatu dari kantongnya. Lantas, kini sebuah kapsul berwarna biru muda dengan simbol Hosp-Blue sudah bertengger di tangannya. "Ini bukan obat seperti yang kau dan anak lain pikirkan."

"Darimana kau mendapatkannya? Terakhir kulihat, kapsulmu kau buang siang tadi." Alisku menyatu, menatap kapsul itu.

"Aku mencurinya dari ruangan Amma."

"Hah? Kau bercand–"

"Kau mungkin tak akan tahu bahwa ada ruangan lain di dalam ruangan Amma. Ruangan yang tak pernah anak lain tahu. Aku mencuri kapsul ini dari sana." Geo kembali memasukkan kapsul itu ke kantongnya. "Selain ruangan itu, aku juga menemukan charger milik Anna."

"Charger Anna?" Yah, robot tanpa emosi itu tentu membutuhkan daya untuk mempertahankan hidupnya. Namun, sejauh ini belum ada anak yang melihat charger itu–terkecuali Geo.

"Ya, menurutmu darimana Amma mendapatkan daya baterai untuk Anna?"

Ah, pertanyaan Geo sukses membuatku berpikir serius. Bagaimana pun juga, Anna memang robot yang aneh. Dia seperti hidup permanen, jarang diisi daya, dan ... tampak terlalu hidup untuk sebuah robot mati.

"Dari listrik?"

Geo menggeleng. "Awalnya, kupikir juga begitu. Tapi, aku tak menemukan lubang stop kontak pada alat chargernya."

"Mungkin charger Anna memiliki fitur penghisap daya yang lebih canggih dari stop kontak?" sanggahku, mencoba berpikir positif. Namun, jawaban Geo membuyarkan semuanya. "Bagaimana jika ternyata daya untuk Anna bukanlah listrik?"

Aku mati kata. Rasa takut, khawatir, dan was-was bercampur menjadi satu. Memikirkan pertanyaan Geo membuatku pusing, apalagi ketika mataku kembali menatap banyaknya mayat bergeletakan–terutama Miya, rasanya ingin muntah. Ini terlalu menyedihkan, terlalu mengerikan untuk seorang Amma yang begitu keibuan.

"Aku tak tahu pasti apa isi kandungan kapsul yang kita minum tiap pagi. Tapi, menurut dugaanku, ini racun." Aku menoleh, menatap Geo. Dapat kulihat kilatan ketakutan hebat di matanya ketika menjelajah ke arah para mayat.

Tolong, Jangan Peluk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang