See You, Amma

3 1 0
                                    

Sejak awal aku sudah tahu bahwa hidup tak akan berjalan semulus itu. Waktu yang terus berjalan bisa saja menggerus kewarasan siapa pun yang enggan bergerak maju. Padahal, manusia pun memiliki jangkanya sendiri untuk lelah. Menyerah juga bukan pilihan terbaik, tetapi jika beristirahat terlalu lama waktu akan menggerus mereka.

Sejak perubahan perlakuan Geo padaku, kukira aku akan dapat beristirahat barang sejenak saja dari luka lama yang menghantuiku setiap menjelang tidur. Setidaknya mengembalikan kewarasan yang hampir musnah secara keseluruhan. Padahal, aku hanya beristirahat sebentar, tetapi sepertinya memang waktu tak pernah membiarkanku untuk beristirahat.

Tepat ketika tubuh Geo berganti warna, reflek pandangan seisi kamar berpindah padanya–bergitu juga Amma, mereka memberi respon cepat. Namun, Geo bukanlah tipikal orang yang pandai menyembunyikan raut muka. Setelah tubuhnya berubah biru, dia sama sekali tak menampakkan raut tenang atau setidaknya tersenyum–supaya tidak menimbulkan kecurigaan.

"Sepertinya akan ada yang pulang malam ini."

Tidak. Geo bukan pulang. Dia hanya akan dibuang dan membusuk di rumah palsu itu. Ini buruk, mungkin benar aku seharusnya kabur saja bersama Geo. Merencanakan langkah demi langkah sebaik mungkin tanpa Amma tahu sebelum ini terjadi. Namun, sepertinya sudah terlambat.

Waktu pemulangan Geo sudah tiba. Dia berdiri di depan pintu perpulangan bersama Amma dan Anna. Lelaki itu melambai, hanya padaku. Kulihat mulutnya bergumam pelan, "Tetaplah hidup, jangan sampai terinfeksi."

Sial, bisa-bisanya dia memikirkanku sedangkan nyawanya sendiri sedang dalam bahaya. Tiba-tiba ingatanku bergulir pada tumpukan mayat di rumah dan sekarang Geo akan menjadi salah satu dari mereka. Membusuk di sana, sendirian.

Setelah Geo dipulangkan, aku hanya menunduk di balik pintu perpulangan. Duduk memeluk lutut, hampir menangis. Entahlah, rasanya sesak. Aku terus menunggu, berharap ada yang kembali dari pintu perpulangan. Mungkin? Membayangkan Geo muncul di depanku dalam keadaan tubuh yang sudah kembali seperti semula–berwarna sawo langsat, sambil berkata, "Aku pulang. Ah, ternyata aku belum sembuh, Emma. Haha." Sehingga dia bisa bertahan di sini barang sebentar saja. Menemaniku.

"Emma." Tepat di tengah lamunan dan penantian panjangku, tiba-tiba pintu perpulangan terbuka. Amma muncul bersama Anna, wanita itu berjongkok, terlihat menghibur. Dia memelukku beberapa saat. Entahlah, rasanya tak sehangat biasanya.

"Sudah malam, kau tidak kembali ke bangsalmu?" Saking asyiknya menunduk sambil memeluk lutut, aku sampai tak sadar bahwa ruangan perpisahan sudah lengang. Tak ada orang selain aku, sepertinya mereka sudah kembali ke bangsal dan bersiap tidur. Amma segera menggenggam tanganku dan membawaku ke bangsal.

"Kau merindukan Geo?" tanya Amma, aku mengangguk. Amma berjalan melewati lorong-lorong tanpa menatapku sambil memegangi lenteranya, karena lampu sudah dimatikan, suasana menjadi amat gelap.

"Dia baru pergi siang tadi dan kau sudah merindukannya?"

"Apa Geo akan baik-baik saja, Amma?" Genggamanku pada Amma kian mengerat. Entahlah, setelah melihat sesuatu yang aneh kemarin, aku masih tetap tak bisa menyalahkan Amma atas semua yang terjadi. Dia terlalu baik untuk menjadi seorang pembunuh.

"Ya, dia akan baik-baik saja. Yang pasti lebih baik dari dia biasanya." Kuharap Amma benar. Semoga apa yang aku dan Geo liat malam itu bukanlah sesuatu yang nyata, atau setidaknya jangan jadikan Amma sebagai tersangka.

"Terima kasih, Amma." Aku mencoba tersenyum penuh arti, bersikap seakan-akan tak terjadi apa pun. Mencoba mempertahankan pemikiran bahwa Amma tetaplah orang baik di mataku.

"Untuk apa?"

"Sudah menjadi ibu yang baik."

Kami sudah sampai di depan pintu kamar, Amma segera melepas genggamannya, membiarkanku berjalan sendirian menuju bangsal.

Malam ini sepertinya aku tidak bisa tidur–lagi. Menatap langit-langit kamar yang hanya diterangi oleh temaram lampu yang kian meredup, memikirkan kira-kira apa yang akan terjadi pada Geo. Aku menghembus napas pelan, mencoba berpikir positif, mungkin Geo pulang ke keluarganya.

Tidak.

Tidak ada keluarga apa pun di rumah itu, hanya ada mayat. Lalu, ke mana Amma membawa Geo? Apakah Geo akan menurut saja ketika dibawa ke rumah itu? Akan bagus jika dia bisa kabur, bagaimana jika tidak? Lagipula, memangnya ada tempat untuk kabur? Ah, aku kehabisan ide.

Semua pikiran-pikiran bodoh itu kian menjadi-jadi ketika malam semakin larut. Aku sudah berusaha berkali-kali memaksa mataku untuk tertidur, tetapi gagal. Pada akhirnya, aku membiarkannya terbuka sepanjang malam, mungkin sampai pagi. Namun, suara berisik mengganggu atensiku.

Terduduk, aku melihat gorden jendela berkibar lumayan kencang, tanda jendela belum ditutup. Dapat kudengar hujan lebat di luar sana dan beberapa guntur menyambar. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka, sepertinya tertiup angin dari jendela. Segera saja aku berdiri, hendak menutup jendela. Namun, atensiku segera teralihkan ketika ruangan Amma nampak terang. Sepertinya Amma belum tidur.

Urung tidur, keadaan ruangan Amma menarik perhatianku. Pada akhirnya aku malah menghabiskan malamku untuk mengintip ada apa di sana. Lalu, apa yang kulihat mengingatkanku pada Geo. Karena aku melihat ada Geo yang lain di dalam sana, duduk berdampingan dengan Anna yang ... rusak?

"Duduk."
"Baik, Amma."
"Jadi, kau sudah tahu?" Reflek aku meneguk saliva, tak berani menjawab. Firasatku buruk mengenai pertanyaan Amma. Wanita itu berjalan ke arah Anna, animatronik yang sering bermain dengan anak-anak di Blue Hospital.
"Tak apa. Jangan takut. Aku tak akan melakukan apa pun padamu. Hanya saja ... maukah kau menolong Anna? Dia kehabisan baterai." Amma membuka bagian dalam Anna, animatronik yang kini tengah duduk terbujur di tembok ruangan itu menampakkan tampilan endo sekeleton yang ada di dalamnya. Tampak jelas kabel-kabel rumit yang dirangkai sedemikian rupa sehingga membentuk robot menyerupai gadis usia sepuluh tahun.
"Apa yang harus kulakukan?"
"Kemari." Amma melambai, aku menurut saja. Wanita itu mendudukkan tubuhku ke bagian dalam endo sekeleton Anna. Aku duduk dengan penuh keraguan dan membayangkan hal buruk yang akan terjadi ke depannya. Kemudian, sebuah tombol di area rambut Anna dipencet. Seketika tubuh Anna menutup. Aku terjepit. Rasanya ... sakit sekali. Sungguh.
Aku merasa darah mengalir di seluruh tubuhku, tertusuk oleh besi dari endo sekeleton milik Anna. Sepertinya tempatku duduk mulai dibanjiri oleh darah, begitu juga tubuh Anna. Aku tak pernah tahu jika Anna ternyata memiliki fungsi sekeji ini. Namun, kenapa?
Samar-samar aku mendengar Amma bergumam pelan, "Terima kasih sudah berjuang sejauh ini, Emma. Kau hebat karena tidak terinfeksi. Itulah alasan kenapa kau di sini sekarang. Karena dengan daya tahan tubuh sebaik dirimu, Anna dapat hidup kembali."
Pandanganku mulai samar, seluruh tubuhku mati rasa. Aku tak bisa merasakan tangan maupun kakiku lagi. Terlalu sakit untuk dirasakan. Sungguh, aku lebih memilih untuk mati menggunakan pecahan kaca atau tenggelam daripada menggunakan cara seperti ini. Ini terlalu ... tidak berperi kemanusiaan. Ditambah lagi, ini dilakukan oleh orang yang ... sangat kucintai. Tak dapat dipercaya.
Namun, aku bersyukur karena aku yang merasakan rasa sakit ini, bukan Ray.
Aku tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu dengan diriku yang seperti ... mati. Namun, entah bagaimana caranya, aku dapat merasakan tubuhku lagi. Aku bisa menggerakkan jemariku perlahan, walau kaku. Detak jantungku mulai kembali terdengar, rasanya seperti hidup kembali. Perlahan aku membuka mata dan yang kutemukan adalah Amma yang tengah memelukku erat. Entah kenapa, kali ini ... rasanya hangat. Seperti pelukan keibuan.
"Anna anakku, Ibu akan terus mencoba menghidupkanmu. Bagaimana pun caranya. Ibu janji. Maafkan ibu karena sudah membiarkanmu terbunuh."
Ah, inikah alasannya kenapa Anna selalu ada di sekitar anak-anak dan diperlakukan dengan baik oleh semua orang?
Anna, seandainya kau masih hidup, kau pasti sangat bahagia, dikelilingi banyak orang dan dicintai oleh semua anak. Juga, aku dan Ray pasti tak akan mengalami semua hal buruk ini. Namun, jika begitu, aku tak mungkin mengenal Ray, ya? Aku tak akan merasakan semua perasaan tak masuk akal ini. Aku ... tidak akan ada.

Tolong, Jangan Peluk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang