3: Aku dan Sebuah Keinginan

21 3 0
                                    

Sendja Kala

Bagian 3: Aku dan Sebuah Keinginan

***

Semarang, 15 Oktober 1945. Dini hari.

"Bu, sudah dibereskan semua barang-barangnya?" tanya Bapak, sedikit khawatir.

"Sudah hampir selesai, Pak."

"Terus, bagaimana dengan Mita? Sudah selesai?"

Baru saja ditanyakan oleh sang ayah, sosok Mita pun muncul dari balik kelambu. Langkahnya terburu-buru, sambil membawa tas yang ukurannya tidak terlalu besar. Di saat yang bersamaan, terdengarlah suara ketukan pintu dari depan. Sebuah teriakan terdengar menyusul kemudian.

"Assalamualaikum! Bapak, Ibu, Mita! Ini, Bas! Kalian tidak kenapa-napa, 'kan?"

Tak membuang waktu lebih lama lagi, Mita pun segera melangkan menuju ruang depan dan membukakan pintu untuk Bas. Kedua mata gadis itu membelalak, melihat keadaan Bas yang tak karuan. Peluh mengucur deras di dahinya dan seragam yang ia kenakan sudah tak karuan bentuknya.

Seolah tahu apa yang tengah mengganjal di pikiran gadis itu, Bas langsung menyahut, "Kamu tidak usah khawatirkan Mas, Mita. Keadaanmu sendiri bagaimana? Tidak terjadi apa-apa, 'kan, sama kamu juga Bapak dan Ibu?"

Mita menggeleng cepat. "Alhamdulillah ndak terjadi apa-apa, Mas. Tapi, kami semua jadi panik. Apalagi setelah mendengar kalau pasukan Dai-Nippon sedang menuju ke kota. Bapak langsung suruh kami semua untuk kemas barang-barang seperlunya buat mengungsi ke rumah saudara yang sekiranya lebih aman."

Bas mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Mita. "Syukurlah kalau begitu, Mita. Nanti biar Mas minta bantuan ke rekan-rekan lainnya, ya."

"Astagfirullah, Cah Lanang! Kondisimu, kok, semrawut begini? Ada apa?"

Tak sampai lima detik setelah Bas menutup mulutnya, Ibu tiba-tiba datang dan menanyakan perihal keadaannya. Instingnya sebagai seorang ibu langsung menggebu-gebu, apalagi melihat keadaan Bas yang cukup mengenaskan. Bapak yang mengekor dari belakang hanya bisa terdiam melihatnya.

Bas menggeleng pelan dan meraih kedua tangan Ibu untuk menenangkannya. "Bas tidak apa-apa, Bu. Tadi ... cuma sempat terlibat pertikaian kecil sama tentara Dai-Nippon. Ibu tidak perlu khawatir, ya, sama Bas."

Namun, ekspresi aneh yang lambat laun ditunjukkan oleh wajah Bas tak bisa membohongi Mita—yang memang selalu awas memperhatikannya. Kedua matanya yang bulat itu bergerak seperti alat pemindai, lalu terbelalak saat menemukan sesuatu. Suatu cairan merah tampak merembes di bagian pinggang seragam Bas yang robek.

"Apanya yang 'ndak apa-apa'?! Pinggang Mas itu terluka, loh!" seru Mita sambil mengeluarkan alat-alat pertolongan pertama yang sudah ia siapkan di tasnya. Bas yang tertangkap basah, hanya bisa pasrah saat Mita menggiringnya ke tempat duduk dan membersihkan lukanya. Dengan cepat dan cekatan, gadis itu melakukan prosedur demi prosedur dalam menangani luka, hingga akhirnya membalut luka Bas menggunakan kain kasa. Kedua matanya yang biasanya berbinar kini meredup—dan Bas menyadari hal itu.

"Untungnya, lukanya ndak terlalu dalam, Mas," ujar Mita, sedikit getir. Ia lalu menyerahkan seragam milik lelaki itu. "Mas ... sempat tertembak, ya?"

Sembari memakai seragamnya kembali, Bas perlahan mengangguk. Ia terdiam sebentar, menatap tunangannya itu dengan sendu. "Iya. Tapi, untungnya cuma tergores saja. Maafkan Mas, ya, Mita ... "

Setelah mendengar permintaan maaf dari Bas, Mita langsung meremas rok yang ia kenakan. Gejolak hebat tiba-tiba muncul di hatinya, membuat gadis itu ingin menangis meluapkan kekecewaannya.

Sendja KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang