4: Aku dan Sebuah Keyakinan

17 2 3
                                    

Sendja Kala

Bagian 4: Aku dan Sebuah Keyakinan

***

Posko Keselamatan, Semarang, 16 Oktober 1945. Malam hari.

"Mbak Mita, sudah, biar aku saja yang rapikan peralatan-peralatannya. 'Kan, Mbak sudah kerja dari tadi."

Mita yang masih sibuk merapikan peralatan makan langsung menggeleng pelan. Ia menatap seorang gadis yang lebih muda setahun darinya itu dengan senyuman. "Ndak apa-apa, Ratih. Ini cuma pekerjaan kecil. Mendingan kamu istirahat saja."

Ratih yang mulai terbiasa mendengar penolakan Mita hanya mampu mendengus kecil. "Benar, ya, kata Mas Bas kemarin. Mbak Mita itu keras kepala. Saking kerasnya, sudah kayak batu!"

Tawa kecil Mita pun menguar seketika. Ia mencubit pipi Ratih pelan. "Yo, ndak apa-apa, toh! Aku tetap bangga, kok, kalau seandainya nanti dikenal sebagai Si Keras Kepala dari Poskes. He-he!"

Omong-omong tentang Poskes, sejujurnya Mita agak kaget saat tiba di tempat ini untuk pertama kalinya. Awalnya, Mita berpikir kalau mereka berdua-Bas dan dirinya-beserta kawan-kawan yang lain akan hidup berpindah-pindah demi menghindari konflik langsung dengan pasukan Dai-Nippon. Nyatanya, Bas malah membawanya ke sebuah bangunan tua di pinggiran kota-yang bisa dibilang merupakan sebuah markas rahasia yang ditemukan oleh Bas dan teman-temannya.

Tak hanya itu, Mita juga terkejut saat mengetahui bahwa ada banyak orang yang tinggal di Poskes. Kebanyakan dari mereka adalah para sukarelawan seperti dirinya dan Ratih, juga para warga yang membutuhkan tempat pengungsian. Di tempat inilah, Mita menyadari jika sebuah perbedaan bukanlah halangan untuk berbuat baik kepada sesama.

Singkatnya, Mita merasa cukup senang dengan keberadaan suatu tempat yang menjunjung tinggi kebersamaan, seperti Poskes.

TOK! TOK! TOK!

Tiba-tiba saja dari arah pintu depan, terdengarlah suara ketukan pintu yang amat keras. Mita yang tadinya sibuk dengan pekerjaannya, langsung menoleh dan saling tatap dengan Ratih.

"Eh? Siapa itu, Rat?"

Ratih menggeleng cepat. Ia buru-buru bangkit dari posisi duduknya. "Ndak tahu juga aku, Mbak."

Baru saja Mita hendak melangkah ke ruang depan, tiba-tiba segerombolan prajurit-termasuk Bas-sudah datang sambil membawa beberapa rekan mereka yang terluka. Kedua mata Mita terbelalak dibuatnya, apalagi ketika mendapati keadaan mereka yang bisa dibilang cukup parah. Mita segera berlari ke arah Ratih dan mengambil beberapa peralatan medis yang telah tersedia. Ia kemudian bergegas menghampiri korban yang sudah dibaringkan di tandu darurat lalu memerintahkan Ratih untuk ikut membantunya.

"Ratih! Cepat bawakan kassa dan yang lainnya!"

Dengan gerakan cepat dan tangkas, kedua perempuan itu beserta tenaga medis yang lain langsung saling bahu-membahu untuk menangani luka serius yang dialami oleh para korban. Darah dan keringat yang berceceran di mana-mana, seolah-olah tak menjadi halangan besar bagi mereka untuk terus bekerja.

Sekitar satu jam kemudian, akhirnya keadaan kritis itu berhasil diatasi oleh Mita dan kawan-kawannya. Mita menghela napasnya, menyeka dahinya yang basah akibat peluh yang amat deras.

"Bagaimana keadaan mereka, Mit? Mereka baik-baik saja, 'kan?"

Ketika gadis itu hendak membersihkan alat-alat yang baru saja digunakan, Bas tiba-tiba datang menghampirinya. Mita sontak menyunggingkan senyum tipisnya, menjawab sekenanya. "Ah, itu ... untuk sekarang mereka sudah ndak apa-apa, Mas. Tinggal dipantau saja beberapa hari ke depan. Semoga keadaannya cepat membaik."

Sendja KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang