Act. 4

5.5K 451 6
                                    

IV.

Fever

“Hei, apa kau lolicon?”

Hanabi dititipkan ayahnya malam ini, bukan karena sebuah rencana besar Hiashi untuk memata-matai Hinata. Atau setidaknya itulah yang diminta ayahnya untuk disampaikan Hanabi bila ada yang bertanya.

“Bukan,” jawab Sasuke.

“Tapi kau tertarik pada kakakku sejak dulu, kan?”

“Ya.”

“Kau suka padanya yang anak-anak, kenapa? Pasti karena kau lolicon.”

“Bukan.”

“Lalu?”

“Apa aku harus punya alasan?”

“Kau menghindari topiknya.”

“Tidak, aku hanya memastikan jawabanku bisa kauterima. Atau kau kurang jelas?”

“Tapi kau belum menjawab pertanyaanku. Sebenarnya kau lolicon, kan? Tapi malu mengakuinya.”

Layar TV menayangkan kemeriahan penyambutan peserta kontes kecantikan. Hinata duduk di sofa, berdampingan dengan suaminya yang diberondong pertanyaan dari adik iparnya.

Sasuke tak pernah terlalu serius memikirkan alasan mengapa ia tertarik pada Hinata. Baginya sebuah perasaan muncul dan berkembang dengan sendirinya. Ia tak pernah memusingkan soal prosesnya. Cinta adalah sebuah keberanian untuk mengakui bahwa hatimu mudah tergerak pada suatu hal paling sederhana sekalipun. Cinta memang sederhana, hanya orang-orang tertentu saja yang menganggapnya rumit. Sasuke adalah satu dari sedikit orang yang tak mau tahu soal alasan, atau selera, atau tipe kesukaan. Dia jatuh, dan cinta menyambutnya.

“Semua anggota Hyuuga utama selalu berakhir seperti Ayah, terjebak dengan kalian.”

“Oh?”

“Tapi ibuku mati. Mungkin itu lebih baik daripada memiliki ibu yang tak bisa menua.”

“Itu jawaban dari perspektifmu?”

“Tentu saja! Makanya aku nggak mau jatuh cinta pada manusia sepertimu.”

“Tapi kau akan begitu, karena itu takdirmu. Jika bukan Uchiha, maka Senju. Itu takdir Hyuuga, tertulis di perjanjiannya.”

“Persetan dengan perjanjian!” Hanabi menunjukkan sikap angkuhnya yang tanpa cela. Dia selalu bisa menjadi seorang superior. “Omong-omong kau enam belas tahun, kan? Aku tujuh belas, lho.”

“Memangnya kenapa?” tanya Sasuke acuh tak acuh, dia mulai merasa gerah dengan semua keangkuhan Hanabi yang tak matang.

“Aku ini seniormu!”

Sasuke mengangguk, tak memedulikan Hanabi, duduk mendekat pada Hinata, semakin tak memedulikan protes adik iparnya yang merasa jengah dengan sikap manja Sasuke.

“Kau bilang kau seniorku, kan?”

Hanabi merengut mendengar sindiran Sasuke, bergumam sendirian, dan masuk kamar yang bisanya diisi Sasuke.

“Menurutku dia tak terlalu cantik,” kata Sasuke setelah pintu kamar dibanting Hanabi. Di layar, muncul wajah-wajah perwakilan dari negara-negara peserta kontes kecantikan.

“Dia cantik,” kata Hinata, “tapi senyumnya kurang alami.”

“Oke, dia cantik. Tapi senyumnya dibuat-buat.”

“Ya,” Hinata bilang.

Sang pembawa acara kemudian muncul, bersetelan jas dengan rambut klimis. Senyumnya lebar, matanya sipit. Warna kulitnya terlalu pucat untuk ukuran seorang laki-laki.

INCOGNITOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang