Act. 5

5.5K 475 22
                                    

V.

Echo

Hinata pulang lebih cepat dari biasanya. Itachi datang untuk mengecek keadaan Sasuke. Suhu tubuhnya sudah turun, tapi demamnya masih tersisa. Niat Hinata menyiapkan makan malam tertunda saat suara gerimis terdengar. Dia keluar untuk merapikan pot-pot yang sedianya diletakkan di dekat beranda depan. Hinata mensyukuri hujan yang turun tak lama kemudian.

Lampu-lampu di rumah dinyalakan. Itachi keluar kamar Sasuke dan membalas tatapan penantian Hinata dengan sebuah anggukan. Itu berarti keadaan Sasuke sudah mulai menunjukkan reaksi positif. Berkat tanah. Sepertinya elemen bumi yang menjadi pilihan Sasuke sebagai penyeimbang.

Bukan air?

Hinata mematikan aliran air di keran. Setumpuk piring pipih keramik putih tersusun menunggu.

“Ada yang ingin kautanyakan?” tawar Itachi.

Apakah seorang pemelihara punya hak untuk bertanya? pikir Hinata. Ia bertahan, dan menggeleng setelah beberapa saat, berdiri memunggungi Itachi yang mengamati gerak-gerik Hinata yang canggung.

“Ada apa? Tanyakan saja.” Itachi sadar dia terlalu memaksakan dirinya melewati garis batas yang tipis itu. Tapi pertahanan Hinata memang terlalu mudah ditembus. Wanita itu berbalik, dan mengatakan apa yang tersimpan di benaknya.

Itachi menghela napas pelan. Hujan terdengar bagai irama musik yang salah ritme. Entah di mana badai baru saja berakhir. Langit sedang menggeser awan-awan berat berwarna kelabu dengan bantuan angin utara. Itachi membayangkan mantel hitam di rumahnya yang baru ia cuci di jasa binatu. Masih terbungkus plastik dan dipastikan beraroma aneh khas binatu; umum, dan mudah ditebak. Seperti juga perasaan dan kegelisahan Hinata yang tanpa alasan. Selama sesaat, Itachi mencoba mengingat-ingat lagi seorang wanita berambut panjang. “Mei,” katanya, lirih dan nyaris terlewatkan.

Hinata bergeming.

Itachi menggeleng dengan ekspresi datar, “Aku tak terlalu ingat. Tapi kau tahu sendiri Sasuke melalui prosesnya dalam jangka waktu yang terlalu lama. Siapa yang bisa mencegah pertemuannya dengan perempuan lain?” Itachi merasa bersalah setelah mengatakan dua kata terakhir di kalimatnya. Seharusnya bukan ‘perempuan lain’, itu membawa kesan seakan-akan Sasuke berselingkuh.

“Maksudku…” Itachi hampir mengoreksi kalimatnya saat Hinata bergegas berbalik lagi, sekali lagi memunggungi Itachi dan sibuk mencuci piring-piring pipih keramik putihnya. “Hinata, hal pertama yang perlu kaulakukan adalah memercayainya. Apa pun yang nanti ia katakan padamu saat kau bertanya padanya soal itu. Kapan pun.”

Bahu Hinata menurun. Ia menelan rasa pahit yang menggumpal di tenggorokannya. “Ya.” Tapi jawabannya terdengar tidak tulus. “Maafkan aku.”

Itachi menolak untuk melanjutkan perbincangan yang tak menyenangkan itu. Ia bangkit dari kursinya, bertanya apa dia bisa membantu Hinata dengan sajian makan malam mereka. Hinata menolaknya dengan sopan, memintanya untuk bersantai di ruang tengah. Itachi melihat ini sebagai sebuah kesempatan. Untuk melarikan diri.

“Aku harus kembali. Ada urusan yang belum selesai di rumah.”

“Ah, maaf telah menahanmu karena masalah ini, Itachi-san.”

Itachi berdiri di dekat sofa, menunggu hingga Hinata melihat matanya lalu mengatakan, “Kau tahu masalahmu? Kau selalu minta maaf. Itu menjengkelkan.”

Kejujuran Itachi seolah menampar sikap pasif Hinata, penolakannya yang terasa munafik, dan keegoisannya yang terdorong jauh oleh harga dirinya yang tak seberapa.

“Hyuuga tak ditakdirkan untuk tugas itu, Hinata. Kalian pemelihara, itu berarti hanya kalian yang bisa memahami kami, kegilaan kami, kedangkalan jiwa kami, dan keseluruhan kami yang tak terkendali. Itu tugasmu, dan juga pilihan yang telah lama kaupilih sejak kau mencintai adikku.”

INCOGNITOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang