Act. 6

3.9K 388 16
                                    

VI.

Lullaby

Seharusnya pagi ini Hinata pergi menemui Itachi. Ia telah membuat janji temu dengan kakak iparnya untuk konsultasi. Untuk saat ini, hanya ada nama Itachi di benak Hinata. Tapi kemudian Hanabi mengirimkannya pesan singkat; 'Ayah ingin bertemu denganmu hari ini juga.' Dan agenda Hinata pun berubah tanpa perlu penjelasan panjang lebar.

Hinata minta izin dari Sasuke yang mengizinkannya pergi dengan berat hati. Ia menerima kecupan di pipi sebagai sebuah kepastian dari Hinata bahwa segalanya akan baik-baik saja. Sasuke masih lebih memilih Itachi, tapi Hinata tahu kesiapan ayahnya tak bisa ditebak. Hinata menganggap undangan ini sebagai hal yang baik. Dan itu juga yang ia sampaikan pada suaminya yang cemas.

Dengan menumpangi taksi, Hinata menikmati perjalanannya pulang ke rumah. Emosinya campur aduk. Di satu sisi ia merasa begitu egois karena pilihannya. Meski Sasuke menyanggupi permintaan istrinya, ada bagian dalam diri Hinata yang tak sepenuhnya setuju. Lahir di keluarga Hyuuga memaksanya untuk siap dengan masalah seperti ini. Sedikit banyak Hinata tahu tentang incognito.

Dulu mereka tak bernama, hanya sekelompok anggota klan yang tak bisa menua. Sampai akhirnya periode baru dimulai ketika bangsawan dan ilmuwan Eropa datang ke Jepang sebelum era Edo. Dan berkat sebuah penelitian tanpa nama, Uchiha menerima nama incognito. Setelah itu mereka melekat dengan nama itu. Namun jika membicarakan soal sejarah, Sasuke akan menyebut keberkatan dewa ini sebagai kutukan.

Pintu pagar rumahnya yang dicat hitam tampak dingin dari jauh. Hinata turun dari taksi setelah membayar ongkos. Dia mengucapkan terima kasih dan menutup pintu taksi.

Hinata mengenakan mantel biru tua, syal yang menghangatkan lehernya berwarna abu-abu. Rambutnya ia ikat sederhana. Tanpa memikirkan apa-apa, Hinata mulai melangkah. Lalu menarik napas, dan kemudian kecemasan di dalam dadanya mengalir perlahan menuju kehampaan.

Ketika pintu dibuka dan seorang pelayan wanita menyambutnya, Hinata sadar ia telah kembali ke dunia ayahnya.

Kemegahan tradisional menyapanya, ketukan suara langkah kaki di atas lantai kayu mengiringi kepulangan Hinata. Uluran tangan, kepala yang menunduk dengan hormat, dan senyuman ramah yang terlatih, semuanya menyambut Hinata seperti sebuah jawaban yang telah lama dinantikan.

Si pelayan wanita mengundang Hinata menuju ruang kerja ayahnya. Yang tak berubah banyak kecuali lapisan kertas pintu shoji-nya. Hiashi duduk di hadapan meja kerjanya, mendongak saat pintu dibuka. Hinata tersenyum, melangkah mendekat dan menerima keramahan pertama dari ayahnya melalui sebuah anggukan setelah sekian lama.

Hiashi menarik napas, menanggalkan kacamata bacanya, dan mempersilahkan Hinata duduk. Mantel dan jas ayahnya digantung di tiang kayu di sudut ruangan. Terlihat segar tapi kesepian. Aroma masa lalu menyeruak tanpa diundang, membuat Hinata sedikit merasa asing.

Ketika memikirkan tentang ayahnya, Hinata hanya bisa mengingat ketegasan tatapan matanya, atau sikap kaku yang menyembunyikan entah berapa banyak kekecewaan dan rasa sepi. Hiashi tak terlalu banyak memamerkan emosi. Seperti kebanyakan laki-laki dalam lingkungan Hyuuga, Hiashi juga tertutup.

Pagi itu dia melapisi tubuhnya dengan kehangatan haori hitam, bukan sesuatu yang baru. Bila mengenai busana, tak banyak yang bisa diharapkan dari Hiashi. Tapi itu selalu bisa dimaklumi.

Perbincangan dimulai dengan pertanyaan basa-basi standar. Hinata menyambutnya dengan sedikit gugup. Sudah lama ia tak bicara dengan ayahnya; tidak secara langsung seperti saat ini atau melalui telepon.

"Aku sudah dengar dari Fugaku." Hiashi mengamati reaski Hinata yang tampak tenang; cukup memuaskan. "Apa kau yakin dengan keputusanmu?"

"Kami sudah yakin," ujar Hinata, mengoreksi pertanyaan ayahnya. "Kami sudah yakin, Ayah."

INCOGNITOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang