I Believe in You

4 0 0
                                    

Minggu tenang dilalui Kaia dengan segala kesibukannya. Pergi ke perpustakaan, bekerja paruh waktu, dan meluangkan waktu dengan sahabatnya. Minggu tenang kali ini terasa cukup berbeda bagi Kaia, selain ia tenggelam dalam kesibukannya begitu juga dengan kekasihnya yang entah kini ada di mana sosoknya.

"Kemana si Bara?" Rhea dengan suara bisikannya memecah suasana hening di perpustakaan. Bukan dengan alasan Rhea melontarkan pertanyaan seperti itu lantaran memang Bara tiga hari ini tidak ada kabar dan entah di mana.

"Gak tau, Rhea," jawab Kaia dengan santai tanpa memperhatikan mitra bicaranya.

"Gak boleh gak tau, harus dicari tau. Gak usah sok positif thinking," kesal Rhea di balik buku bacaannya. "Gak ada yang positif thinking, Rhe. Cuman gak mau berspekulasi aja," lanjut Kaia tanpa jeda.

Suasana perpustakaan yang terlalu hening ini memaksa dua sahabat itu berhenti membicarakan yang sudah pasti menyulut amarah antara keduanya. Memahami situasi yang terjadi saat ini keduanya kini sudah berada di luar perpustakaan.

"Kan, kan. Aku tau ya, Kai, kalian ini udah dua tahun pacaran tapi ya jangan gitu. Udah coba hubungin kan? Jangan bilang belom dengan alasan takut ganggu kesibukan dia, alah pret, Kai," Rhea sudah mengeluarkan omelannya sejak langkah pertama mereka dari pintu utama perpustakaan fakultas.

"I try. Gak ada jawaban, yaudah si udah usaha ini," jawab Kaia acuh meninggalkan sahabatnya.

"Kaia woi, masa nyerah gitu aja. Gak pernah Kaia nyerah gitu aja sama keadaan," teriak Rhea dari belakang.

Rhea berlari mengikis jarak antara mereka melewati cahaya yang mulai menghangat. 

"Yaudah gak usah dicari, setiap yang pergi pasti tau jalann pulang, kan?" Rhea menghirup udara banyak-banyak, "udah ya ada janji, dadah Kai. Balik duluan ya, hati-hati sayangku," tutup Rhea dan pergi meninggalkan Kaia di depan gerbang kampus.

"Hmm, mestinya gitu ya," Kaia bergumam dengan dirinya sendiri.

Jarak dari kampus menuju kos sangat bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Kaia memutuskan untuk berjalan sambil menikmati cahay yang mulai menghangat di kulitnya. Memikirkan semua ucapan sahabatnya itu dengan benar. Iya sebaiknya Kaia tidak usah berusaha mencari karena setiap yang pergi pasti akan menemukan jalan pulang. Mungkin Bara larut dalam segela sibuknya untuk UTS yang sebentar lagi akan terlaksana.

Kaia berjalan perlahan dengan es krim di tangannya sambil sesekali masih memikirkan hal yang tak seharusnya ia pikirkan. Nyatanya jalan menuju kos begitu jauh ketika pikiran tak lagi beriringan dengan raga. Tangan Kaia membuka gerbang dan tak disangka, di taman, didapatinya sosok lelaki yang selama tiga hari ini seperti tertelan gelap, Bara. Lelaki itu duduk di rerumputan sesekali mengamati ikan dan gerbang. 

"Hai," senyum khas milik Bara terlukis jelas di wajahnya.

"Hai, aku pikir kamu pulang ke Bandung atau sibuk nyiapin diri buat UTS. Hahah," tawa Kaia kosong di sana.

"Ah..em iya lagi nyiapin buat UAS," terbata setiap katanya,"mau jalan gak? Emm gak jalan, aku mau ngajak ke pantai. Tau kalo udah siang, tapi  mau gak? Kamu selalu pengen ke pantai tapi aku selalu gak ada waktu," lanjut Bara yang masih terbata di sana, "aku tungguin, ayo siap-siap. Mau naik motor aja apa naik mobil?" Lanjutnya lagi dengan perlahan menatap  Kaia.

Kaia meraih tangan Bara dan mulai menatapnya, "aku siap-siap dulu, naik motor aja gapapa. Makasih."

Di sinilah mereka berdua, berkendara bersama melalui jalanan dengan banyak pepohonan menuju pantai. Matahari yang tidak terlalu terik itu menemani perjalanan mereka. Hanya saja tidak ada pembicaraan diantara keduanya. Deru kendaraan yang lalu lalang menjadi sumber pemecah keheningan diantara mereka. Tidak sampai satu jam perjalanan menuju pantai, namun terasa sangat lama karena suasana perjalanan kali ini benar-benar sunyi dan sedikit canggung. Belum lagi isi kepala Kaia kini sangat penuh dan ramai tentang apa-apa yang terjadi pada kekasihnya selama tiga hari kebelakang.

"Kai, enggak tidur kan?" Bara memecah keheningan diantara keduanya.

"Enggak kok, masa tidur. Bisa jatuh dong," jawab Kaia dengan senyum.

"Ngomong-ngomong nih, kita udah sampe. Apa kita mau di motor terus?" Tanya Bara memalingkan pandangannya pada kekasihnya.

"Oh iya, udah sampe aja hehehe," Kaia menyengir.

Mereka berdua berjalan menghampiri bibir pantai dengan bahagia. Terlihat Kaia meloloskan semua bebannya pada ombak yang kian mendekat. Kaia beteriak bahkan mungkin suara teriakan Kaia sampai ke ujung pantai sana. Bara memperhatikan Kaia lekat-lekat, bagaimana cara Kaia tersenyum pada hamparan air, bagaimana Kaia berteriak saat ombak menghampiri kakinya bahkan sampai bagaimana Kaia enggan untuk sekedar bertatap dengannya. Bara paham bahwa apa yang dilakukannya tiga hari kemarin tidak seharusnya ia lakukan. 

Bara berjalan perlahan mendekati kekasihnya, "seneng gak?"

"Seneng. Bisa teriak gini, makasih ya," jawab Kaia dan mulai menjauhi Bara.

Sebelum Kaia benar-benar menjauh, Bara berhasil meraih tangan Kaia dan kemudian menggenggamnya erta.

"Sini aja, gausah jauh-jauh. Nikmatin ombak sama aku, teriak aja di sebelah aku. Aku gak akan kemana-mana," ucap Bara penuh dengan ketenangan.

Kaia terkejut dengan apa yang dialaminya barusan. Tangan Bara benar-benar hangat, hati Kaia ikut menghangat setelah mendengar kata-kata Bara. Perlahan Kaia mulai mendekat, menatap dalam kekasihnya dari sudut pandangnya. Kaia melihat ketulusan dan kehangatan di wajah kekasihnya itu. Diam-diam Kaia melukiskan senyum tipis di wajahnya dan membalas genggaman kekasihnya.

"Iya," jawab Kaia dengan senyum yang kini kian terlihat.

Bara dan Kaia terus mengeratkan genggaman mereka sembari menikmati indahnya laut selatan di siang hari menjelang sore ini. Suasana pantai yang sepi dan deburan ombak yang kian ramai membuat suasana semakin nyaman. Mereka memutuskan untuk duduk di bibir pantai membiarkan baju mereka dibasahi anak ombak yang sampai pada mereka. Suasana ini langka. Selama mereka menjalin hubungan, mungkin ini adalah baru kelima kalinya mereka pergi ke pantai hanya berdua. 

"That's why I love you. You are strong like your name,"  bisik Bara pada Kaia.

"No, I'm not. You know that I'm weak," Kaia menjawab dengan sedikit menjauh dengan tetap menatap kekasihnya.

"Enggak, Kaia. Kamu itu lebih kuat dari yang kamu kira. Semua juga tau kalau Kaia itu kuat. Udah kuat, cantik, sabar banget lagi orangnya. Aku beruntung banget bisa kenal dan sayang sama kamu," jelas Bara dengan tatapan yang teduh.

"Begitu juga aku. Kamu adalah satu-satunya laki-laki yang berhasil bawa aku keluar dari segala yang menyesakkan. Kamu itu beda, Bara. Jadi, aku mohon untuk tetap dalam buku ini. Kalau seandainya nanti kamu memang mau berhenti jadi tokoh utama dan pergi dari buku ini, kasih tau ya. Aku dah sering bilang, tolong ya? Bisa kan?" Jawab Kaia panjang sambil menggenggam erat tangan Bara.

Hampir semenit Bara terdiam di hadapan Kaia setelah apa yang Kaia utarakan. Lalu setelahnya Kaia sudah berada dalam pelukan hangat milik Bara yang selalu Kaia rindukan.

"Iya, Kaia. Aku gak akan pergi dari buku ini, aku akan tetap jadi tokoh utamanya. Jadi, jangan khawatir ya," ucap Bara final dengan memeluk Kaia lebih dalam.

"I believe in you, because I love you,"  bisik Kaia di sela pelukannya.

Satu jam mereka habiskan seperti melepas rindu karena tiga hari lalu Bara sama sekali tidak ada kabar bahkan ini buka seperti Bara. Seolah semua rindu sudah terbalas, kini mereka tidak lagi berdiam dan menciptakan suasana canggung.

BERTAUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang