Tentang Kaia Kamaniya Sianny

4 1 0
                                    


Waktu berlalu begitu cepat. Para mahasiswa sudah berada di kampus, termasuk Bara dan Kaia dan mulai membaur dengan sibuknya suasana kampus hari ini. Semua sibuk dengan segala kesibukan masing-masing. Hingga senjapun menyapa bumi dengan sangat hangat dan tenang. Waktunya pulang bertemu lagi dengan setumpuk tugas yang begitu menyebalkan karena tiada habisnya selalu berdatangan.

Bukan Kaia namanya jika senjanya tidak dilalui dengan berdiam diri di rooftop bersama orang yang dicintainya.

"Langit senja emang selalu sebagus ini, ya kan?" tanya Kaia secara tiba-tiba.

"Wehei, ya iya kan. Tapi langit memang selalu indah gak si, Kai?"

"Menurut aku langit itu selalu indah bagaimanapun dia. Gak berawan pun dia indah. Ajaib lagi," jelas Kaia dengan senyum terlalu hangat dengan pancaran jingga senja menghias paras cantiknya.

"Hemm, ajaib gimana tuh bu guru?" Tanya Bara sambil menggoda wanitanya itu.

"Ya ajaib. Langit selalu bisa menyampaikan segala rasa yang dia punya mana pernah si langit bohong. Coba kalau dia lagi sedih, dia nangis kenceng banget kan, kalau lagi marah juga jelas loh. Nah kalau sekarang ini langit lagi ngerasa bahagia, senyum terus sampe memerah wajahnya. Kalau langit biru itu berarti dia lagi tenang dan bahagianya biasa aja. Nah kalau berawan tapi gak mendung itu dia lagi seneng bareng temennya, awan," Kaia menjelaskan segala definisi ajaib si langit dengan mata yang berbinar begitu memesona tak lupa juga senyum yang selalu mebghias parasnya.

"Lengkap. Bahagiaku lengkap. Ada kamu yang selalu senyum sambil menjelaskan eh di iyakan sama langit yang ikut senyum ngeliat kamu senyum," Bara mengelus lembut puncak kepala wanitanya dengan sayang.

"Ayok pulang, udah hampir maghrib. Takut dibawa wewe. Heheheheheh," Kaia membuyarkan suasana romantis dengan kata-kata dan cengirannya.

"Rese banget si kamu lagi romantis malah begitu. Dah ayok," lelaki dengan gummy smile itu berdiri dan mengulurkan tangannya membantu Kaia berdiri.

Begitu kira-kira gambaran rumah yang selalu Kaia sampaikan dalam setiap monolognya. Selalu diisi dengan obrolan ringan namun bermakna, diiringi tawa yang selalu menggema di setiap ruang, serta dihiasi segala senyum secerah jingga senja ini.

*****

Ternyata waktu memang begitu cepat berlalu seiring dengan berlarinya mentari menuju barat. Semua begitu saja berlalu tanpa adanya waktu untuk memahami semua yang terjadi, Kaia kecil dipaksa untuk memahami semua sendiri. Usianya saat itu baru akan melalui masa transisi anak-anak menuju remaja dimana peran orang tua sangat penting bagi tumbuh kembang seorang anak.

Kaia kecil tumbuh dengan keluarga yang lengkap. Hampir di setiap akhir pekan kedua orang tuanya menyempatkan diri untuk sekedar bermain dengan Kaia kecil meski hanya di taman. Ayah memberi nama Kaia karena alasan yang sedikit lucu. Kata ayah, karena dulu Ibu sangat suka ke pantai saat mengandung Kaia, jadilah nama putri ayah dan ibu adalah Kaia yang berarti laut. Supaya ketika besar nanti, Kaia memiliki hati seluas laut dan menjadi wanita yang teguh pendirian.

Nama itu melakat erat pada sosoknya kini. Wanita dengan hati yang luas bak lautan ditambah raganya yang juga sekuat lautan yang terus-terusan membawa ombak hingga ketepian. 

Namun, segala kenangan indah tentang keluarganya yang lengkap, bak karang yang rapuh terkikis ombak di lautan luas. Semua tujuan piknik Kaia kecil harus dia simpan sendiri tanpa pernah tersampaikan kepada kedua orang tuanya. Kaia melalui masa-masa Sekolah Dasarnya dengan berbagai umpatan sang ayah dan tangis lara sang ibu.

"Hari ini mba masuk sekolah hari pertama ya, semangat ya mba. Ibu anter ya," kalimat menenangkan dari malaikat tanpa sayap dengan tatap teduh.

"Enggak usah ibu. Mba bisa sendiri, nanti ibu terlambat sudah banyak pasien yang menunggu ibu. Ayah mana bu? Masih belum pulang ya. Gapapa ya bu, ibu masih punya mba Ia," Kaia kecil tersenyum indah penuh ketenagan dengan menatap mata teduh malaikat tak bersayapnya.

"Mba Ia, kuat ya sama ibu. Pokoknya mba fokus sekolah dulu aja ya. Jangan mikir yang lain-lain," kalimat penenang lagi yang Kaia kecil dengar.

"Yaudah mba Ia berangkat sekolah dulu ya, bu. Ibu hati-hati di jalan," Kaia kecil membawa tangan hangat itu ke dalam tangan mungilnya untuk berpamitan.

Ayah. Dimana ayah? Ayah pergi entah sejak kapan, ayah tidak di rumah. Kaia kecil hanya tahu ayah dipindah tugaskan di rumah sakit di luar kota. Begitu di mata ibu. Namun Kaia kecil jelas tahu bahwa ayah pergi dengan wanita yang bukan ibu. Setelah keributan yang terjadi di rumah hampir setiap malam saat Kaia berusia 9 tahun, gadis kecil itu sudah mengerti bahwa kedua orang tuanya tidak sedang baik-baik saja. Sejak itu ayah jarang berada di rumah, hanya saat akhir pekan saja dan itupun tidak setiap pekan. Ayah hanya akan datang sebulan dua kali. Miris.

Ibu adalah wanita tangguh yang Kaia tahu. Beridri di kakinya sendiri sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga yang selalu bisa menyembunyikan luka dari semesta.

"Bu, Mba Ia mau masuk IPS aja ya. Males ah sama matematika," rengek Kaia di pangkuan ibu.

"Iya terserah mba Ia aja, mau jadi apa mba Ia nanti kan yang menjalani dan bertanggung jawab ya mba Ia sendiri, kan. Ibu hanya bisa mendoakan kebaikan untuk malaikat kecil ibu," mengelus rambut Kaia penuh sayang dengan serentetan kalimat penenang yang selalu Kaia dengar.

Kini Kaia kecil sudah tumbuh menjadi gadis remaja cantik dan pintar. Kaia jelas tahu bahwa ayah sudah memiliki kerajaannya sendiri setelah memporak porandakan kerajaan yang Kaia tempati bahkan ayah sudah punya pangeran kecil. Meski begitu kenyataannya namun ayah masih menaruh andil pada pertumbuhan Kaia, tidak sepenuhnya hanya secukupnya.

Hari ini ayah mengunjungi kerajaannya yang sudah lama hancur. Makan malam bersama, berada satu meja. Ya sudah sangat lama tidak seperti ini.

"Mba Ia mau masuk SMA mana?" Tanya lelaki yang dulu menjadi tempat bersandar gadis kecil itu.

"Mana aja yah. Pokoknya mau jurusan IPS," jawab Kaia ketus.

"Oke. Dimana aja boleh. Tapi tolong banget mba ambil IPA aja. Supaya nanti bisa melanjutkan kedokteran dan memegang rumah sakit ayah. Ya mba?" Pinta lelaki itu.

"No. Mba Ia gak mau. Ayah gak perlu terlalu banyak andil di hidup mba Ia yang sekarang karena memang seharusnya begitu kan," kalimat itu lolos begitu saja.

"Mba Ia. Gak boleh seperti itu. Dijawab yang betul," tenang Ibu sambil menatap teduh netra putrinya.

"Kaia! Berani kamu sama ayah. Gak pernah ayah didik kamu seperti itu," bentak ayah pada Kaia.

"Memang. Bahkan yang mendidik Kaia itu Ibu. Ayah mana pernah. Pernah yah? Ayah dimana saat Kaia pengen liburan kayak temen-temen Kaia? Ayah kemana saat Kaia pengen dipeluk ayah malem-malem, ayah kemana saat Kaia butuh ayah? Ayah kemana? Bahkan ayah enggak pernah ada. Luka yang ayah kasih tu belum kering. Enggak akan pernah kering. Terima kasih," kemudian Kaia duduk dengan begitu tenangnya setelah apa yang dia utarakan.

"Yah, udah ya. Mba Ia biar ibu aja yang ngurus. Sekarang ayah pulang aja sebelum suasananya semakin enggak karuan," Ibu dengan tenangnya membawa mantan suaminya itu keluar dari rumah.

Setelah kejadian malam itu Kaia sangat membenci sosok ayah. 

"Mba jangan terlalu benci sama ayah, bagaimanapun juga ayah adalah ayahmu," Ibu mendekap erat tubuh Kaia yang hanya diam.

"Kalau bisa ya, Bu," Kaia menjawab dengan lesu di pelukan sang ibu.

"Kita harus tetap hidup, Mba. Kita enggak boleh hidup dalam kebencian yang lama dan besar. Kebencian itu seperti bom waktu, dia bisa meledak kapanpun itu. Benci yang kita buat untuk seseorang bisa berbalik dengan mudah untuk menyakiti diri kita sendiri. Jadi ibu mohon, Mba jangan membenci ayah. Silahkan untuk tidak memaafkan karena memang apa yang sudah dilakukan ayah tidak pantas dimaafkan. Tapi untuk membenci, jangan ya, sayang. Semua hanya membuang-buang waktu. Sudah ya, sayang. Anak ibu, malaikat kecil ibu, anak baik, ya sayang," Ibu membelai rambut Kaia halus dan mengecup Kaia berkali-kali, menyalurkan hangat serta semangat.

Kini Kaia sudah benar-benar dewasa. Menjadi mahasiswi di satu Universitas terkenal di Jogjakarta dan masuk jurusan yang sangat ia dambakan selama ini. Kaia memutuskan tidak di rumah karena Kaia tidak mau kenangan-kenangan di masa kecilnya terus mengejarnya. Hanya sesekali Kaia pulang untuk menjenguk Ibu. Karena selama ini Kaia hidup tidak tenang di rumah yang sejatinya sudah bukan lagi rumah untuknya.

BERTAUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang