Bab 1 HILANG

49 2 0
                                    


Senja telah berlalu begitu saja. Aku masih menunggumu di batas Dermaga. Saat ini aku sungguh kecewa. Rasa sedihku tak ada yang bisa menenangkannya. Aku tak tau harus pergi kemana. Jalanan terlihat semakin sepi. Aku hanya berjalan sendiri. Meraung dalam hati mengurai langkah yang begitu pilu dan rapuh. Langkahku tertatih-tatih dan terasa begitu perih.

" Aku benci kamu, dihari bahagiamu aku meminta sedikit waktumu tapi nyatanya apa ini?" aku mengutuk sendiri.

Tak ada yang bisa mendengar kesalku. Tak ada yang peduli denganku. Airmataku mulai menghujan membasahi jalanan sepi. Langkahku melaju tanpa henti meskipun terbata-bata, lamban laksana kura-kura. Hanya cahaya redup lampu jalan yang menerangi gelapnya sang malam. Aku benar-benar patah hati. Sakit yang hanya aku dan Tuhan saja yang tau. Dia pergi kemana? Tanpa mengabari dan menghilang begitu saja.

"Apakah kamu telah melupakan semua ini, apakah kamu melupakan janji kita, engkau kemana?".

Beribu pertanyaan yang membuat perasaanku semakin lirih. Pertanyaan yang jawabannya tak kunjung akau dapatkan. Pandanganku tak kunjung menemukan titik akhir. Rasanya aku enggan mengakhiri perjalanan ini, drama apa terjadi dalam hidupku.

"Ingat! aku akan menemukanmu kembali. Kamu harus membayar semua sakitku suatu saat nanti" lirihku

Udara malam semakin dingin, jendela kamarku masih terbuka lebar, dan kubiarkan angin malam membelai wajah piluku. Sampai saat inipun aku belum mendengar kabar darinya. Ponsel pun belum berdering sama sekali, tanganku masih kokoh menggenggam benda kecil itu, aku masih menunggu kabar darinya. Aku masih berharap ia akan meluangkan waktu untuk menghubungiku dan meminta maaf kepadaku. Harapanku sirna, menunggu ia mengabariku seperti pungguk merindukan bulan, cukup sia-sia. Perih di dadaku terasa semakin nyata, entah bagaimana aku bisa meredamnya.

Malam semakin larut, ponselku tak kunjung berdering. Aku memutuskan untuk menghubunginya lebih dulu. Namun hanya senyum sinis yang bisaku bahasakan. Layanan operator yang menolakku untuk tak berucap padanya. Nafasku tersenggal, aku sangatlah menyedihkan. Tak ada yang bisa menjelaskan kepergiannya. Aku hanya bertanya-tanya pada bayangan semuku. Yang tak akan memberiku petunjuk dan pertanda. Sekarang hanya airmata yang mampu mengutarakan sakit yang aku rasa. Kebencian mulai meracuni otakku sendiri, rasa benci itu datang berulang kali, api amarahku semakin menyala, dia menghilang begitu saja.

Aku masih berlarut pada luka yang entah sengaja dia tinggalkan atau memang takdir yang membawaku pada kenyataan pahit ini. Aku benar-benar kecewa, nafsu makan pun ikut berdialog agar aku tak mencicipi hidangan yang tersedia. Perutku masih terasa kenyang, tak ingin melihat ataupun menyicipi makanan. Aku baru sadar bahwa aku selemah itu. Kepergiannya seolah, membawa separuh nafasku. Jagankan membuka mata pada pagi hari, menghirup udara pagi pun semua masih terasa sesak. Aku tak terbiasa tanpa sapaan selamat pagi darinya. Dia terlalu jauh menyelam ke dasar hatiku, sehingga kepergiannya sangat mempengaruhi jiwaku. Aku masih bertanya-tanya pada diri sendiri.

"Aku melakukan kesalahan apa?" Berusaha mengingatkan-ingat luka yang mungkin pernah kutorehkan padanya.

Saat ini mungkin aku butuh ketenangan, hatiku mungkin terlalu lelah, ragaku pun terlalu rapuh untuk sebuah kehilangan. Sesak dadaku belum kunjung mereda, malahan semua semakin meradang. Kemanapun pandanganku beralih tetap saja dia seolah datang dan suara tawanya terngiang-ngiang. Aku bisa apa saat ini selain, meratapi kepergiannya yang entah kemana.

Berhari-hari aku masih saja murung, sehingga Mama mulai sadar perubahan sikapku dalam beberapa hari. Aku bukan orang yang mudah menangis dan mengurung diri di kamar. Mama sangat kenal aku, dia sangat tahu bahwa aku memiliki masalah, tapi dia tidak ingin bertanya lebih banyak karena semakin banyak pertanyaan maka luka itu seolah di sobek ulang. Setiap Mama masuk ke kamarku, aku selalu berusaha tersenyum palsu, agar Mama tidak khawatir denganku, tapi luka yang tersisa belum mengizinkan aku untuk melanjutkan kebohongan demi kebohongan kepada Mama.

Malam aku ketahuan sedang menangis, lagi-lagi aku menangis. Kali ini Mama benar-benar ingin tahu apa yang terjadi. Mama mengusap kepalaku. Mama bertanya tentang apa yang membuatku berubah akhir-akhir ini. Mama saat ini benar-benar khawatir denganku. Dan aku merasa begitu bersalah telah membuatnya terlihat begitu khawatir.

"Nak, jika kamu sedih, maka menangislah, jangan biarkan dia menetap di pundakmu lebih lama, jangan biarkan resah itu merajai hatimu. Jika ada yang melukaimu dan membuatmu sedih sini, pundak Mama dan pelukan Mama ada kok untuk menenangkanmu. Mama akan selalu ada untukmu. Cerita ke Mama apa yang terjadi sebenarnya!" Mamaku mulai mengusap air mataku perlahan dengan balutan senyuman yang membuatku lebih tenang.

" Ma, aku minta maaf, aku takut cerita ke Mama, takut Mama khawatir denganku. Ma, dia pergi ma, dia ninggalin aku. Aku bingung, karena ia menghilang begitu saja." Lirihku

Aku menceritakan segalanya kepada Mama, semoga ini bisa membuatku sedikit lega. Mama selalu menasehatiku untuk tetap tenang dalam menghadapi masalah, karena setiap masalah pasti ada penyelesaiannya. Aku merasa akan lebih baik jika semua ini diketahui oleh mama.

Masih DenganmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang