Bab 3 Amir Husein

18 1 0
                                    

Amir Husein, seorang aktivis sekolah. Dia dikenal sangat ramah dan sopan. Dia salah satu siswa teladan yang telah mendapatkan banyak prestasi. Para guru dan siswa sangat menyayanginya. Dia adalah kebanggaan sekolah. Kecerdasan Amir, membuatnya sangat dikagumi oleh para siswi juga. Dia ibarat bulan yang melengkapi malam dengan cahayanya. Aku sangat bersyukur bisa mengenalnya.

Aku tidak tau ini berkah atau bentuk kasihannya seorang Amir Husein. Semakin hari, dia semakin sering bersamaku. Dimana aku, dia pun disana. Aku mulai merasakan bahwa rasa ini sudah lebih dari rasa kagum. Ada rasa yang bersemayam dalam hatiku. Aku mulai merasakan cinta itu tumbuh setiap harinya. Sehingga, setiap dia tidak bersamaku, aku merasa ada yang hilang dari hidupku. Kebaikannya padaku membuat aku lupa bahwa dia bukan siapa-siapa saat itu. Saat ini, memang belum ada hubungan  serius, tapi yang aku tahu, hanya dia yang memberikan kebahagiaan di tengah sesak ketika semua teman-teman membuliku habis-habisan.

Ketika dia datang, rasanya ada yang berbeda pada perasaanku. Aku yang kala itu, masih terlalu kekanak-kanakan dan dialah yang mengubah pola pikirku. Dia memberiku kekuatan saat semua masalah datang beruntun. Dia selalu berusaha membuatku untuk selalu lebih ikhlas dengan apapun yang datang pada diriku. Dia pun percaya dan meyakinkanku bahwa takdir yang indah itu pasti datang pada waktunya. Sehingga, kita tidak perlu berkecil hati saat takdir pahit itu datang. Dari saat itulah, dia seolah telah menguasai separuh jiwaku. Keyakinanku untuk selalu percaya pada diriku sendiri menjadi lebih kuat, begitu pun cintaku padanya. Seiring berjalannya waktu, kenyamanan itu telah ku temukan darinya. Dialah cinta pertamaku, dia pun yang membuatku percaya bahwa cinta itu ada dan akan selalu ada.

Kebetulan yang membawanya pada rasaku. Kebersamaan yang mengalihkan semua perhatianku. Kenyamanan yang ia berikan yang membuatku bertumbuh lebih baik dengan realita yang ada. Kebaikan itu telah mengusir rasa pesimisku pada diriku sendiri bahkan pada orang lain. Dia adalah penyelamatku sejak saat itu. Meskipun demikian, aku masih belum bisa memastikan dia benar- benar akan datang dan menetap bersamaku atau semua ini hanya bentuk rasa kasihannya padaku. Sehingga suatu saat, dia akan pergi membawa rasaku yang telah terlanjur kepadanya. Aku tidak akan bisa menerima bahkan percaya jika itu benar-benar akan datang. Membayangkan saja, sudah membuat dadaku perih dan air mataku terbendung lalu menetes perlahan. Apakah aku hanya akan menjaga jodoh orang lain? Kadangkala pikiranku melayang begitu jauh, padahal semua belum tentu terjadi. Hubungan saja belum jelas. Seorang Rani yang menghayal terlalu tinggi, bukan berkaca pada realita.

Aku mengingat-ingat kembali hal yang tak pernah bisa kulupakan. Saat itu, dia menungguku di gerbang sekolah seperti biasanya. Padahal aku telat keluar sekolah karena harus membantu menata perpustakaan terlebih dahulu. Sekarang mataku hanya melihat dia sedang berdialog dengan satpam. Aku tahu, dia telah menungguku lebih lama dari biasanya.

"Apakah dia akan marah kepadaku karena terlambat mendatanginya? tapikan aku tidak memintanya menungguku, dia tidak berhak memarahiku, kalau dia marah aku akan membalas kemarahannya." Aku bergumam sendiri sembari berjalan menuju gerbang.

Langkahku terhenti di depan pos satpam, dan aku memberikan senyuman terbaikku kepada Amir sembari menyapa satpam yang sedang asyik berbincang dengannya sedari tadi. Senyumanku begitu tegang, aku tidak berbakat dalam berpura-pura yang membuatku malah merasa bersalah padanya. Aku masih mematung di hadapannya, sambil menunggu dia mengakhiri perbincangan yang masih berlanjut. Sesaat setelah itu, dia menutup percakapannya dan beralih menatapku.

" Kenapa terlambat?"

" Maaf, membuatmu menunggu terlalu lama. Tadi aku diminta membantu menata buku di perpustakaan. Jangan marah ya!" wajahku masih tegang menatapnya

" Mmmm, aku pikir kamu kenapa-kenapa atau malah pulang mendahuluiku," kata-katanya mencairkan suasana tegang pada diriku

" Aku pikir kamu akan memarahiku!" sembari tertawa kecil

" Aku tidak seperti itu, aku hanya mencemaskanmu, itu saja"

" Maaf, ya sekali lagi." Aku tersenyum sebaik mungkin.

Aku berpamitan dengan bapak satpam dan berterima kasih telah menemani Amir. Aku dan Amir berlalu pergi meninggalkan sekolah. Setelah beberapa lama, dia menghentikan langkahnya.

" Kenapa berhenti?" Tanyaku

" Kita ke suatu tempat yuk? Aku yakin kamu belum pernah ke sana."

" Kemana?"

" Ikut aja dulu tapi, kita beli makanan dulu ya! kamu pasti belum makan, iya kan?"

" Belum!" sembari tersenyum kecil

Dia mengajakku membeli makanan di tepi jalan dan berjalan mengekorinya. Aku tidak tau entah kemana dia membawaku. Tapi, sangat benar aku belum pernah menempuh jalanan itu, maklum saja karena aku adalah anak rumahan. Aku jarang bersosialisasi dengan lingkungan di sekitarku. Untuk berteman saja aku masih banyak berpikir, karena takut selalu dibuli. Aku sangat kurang pergaulan sekali kala itu.

Langkah Amir terhenti disebuah taman, aku mulai melirik seluruh area taman. Aku sangat senang karena tempat itu cukup bagus untuk bersantai. Sangat cocok untuk menenangkan pikiran. Taman yang terdapat danau yang tak begitu luas dengan pepohonan rindang di tepinya. Aku sangat antusias kala itu, aku tidak pernah tahu bahwa tempat seindah itu ada di desaku. Memang tempat tinggalku sebuah desa yang cukup hijau, pepohonan rindang berjejer rapi di tepi jalan. Bunga yang berwarna-warni menyelingi setiap rumpun pohon. Sangat indah bila di pandang.

Taman itu sangat pekat dengan kenangan, apa kalian tahu kenapa Amir mengajakku ke sana?. Semua orang sangat bisa menebaknya, dia memintaku, dia menyatakan perasaannya kepadaku. Danau dengan pepohonan adalah saksi, bahwa itulah pertama kalinya aku mendengar bahwa dia mencintaiku. Rasa bahagia tak bisa kujelaskan kala itu. Intinya aku sangat bahagia sekali. Cukup lama kami di sana. Tidak berapa lama, ada rintik yang mulai mengeroyok tubuh kami dan mengganggu momen itu. Hujan mulai mengguyur deras dan akhirnya kami berjalan bersama hujan. Aku menikmati setiap langkah demi langkah bersama Amir, meski hujan tak kunjung reda.

Saat itulah kisah kami dimulai. Dia selalu berusaha membuatku bahagia. Belajar bersama dengannya. Orang tuaku, mereka sangat mendukung hubungan kami, karena Amir membawa dampak positif kepadaku. Sejak dengan Amir, rasa sendu, rasa takut dan tidak percaya diriku sudah mulai lenyap dan sekarang saja aku juga sudah mulai ikut bergabung dengan organisasi sekolah. Biasanya aku hanya datang ke sekolah, belajar dan pulang. Tak banyak teman, hanya Salsa yang mau berteman denganku itupun hanya di sekolah karena rumah kami beda arah.

***

Hari ini adalah hari kelulusan Amir. Perasaanku berkecamuk, ada rasa bahagia dalam diriku, namun aku juga tidak bisa menyangkal bahwa setelah ini aku akan jarang bertemu dengannya. Dia akan melanjutkan pendidikannya ke kota. Katanya dia akan mengambil D3 Ilmu komunikasi. Aku tidak tahu kenapa dia lebih memilih D3 di banding S1, padahal, kalo di pikir-pikir taggung hanya menambah satu tahun untuk program S1. Mungkin dia ada planing lain setelah perkuliahannya selesai. Aku belum tahu karena banyak keinginan yang selalu kudengar dari ceritanya.

Saat ini, aku sudah memiliki banyak teman, sehingga rasa sepiku tanpa Amir mulai terobati. Penampilanku pun sudah jauh berbeda dari beberapa bulan yang lalu. Tidak ada bulian lagi yang kudengar, hanya rasa kekeluargaan dan kebersamaan yang kulihat. Sekarang kegiatan sekolah sangat padat karena OSIS akan mengadakan acara perpisahan kelas IX. Aku sangat sibuk di sekolah, aku kerap pulang sore dan diantar oleh teman-teman organisasiku. Tidak lagi bersama Amir, dia sangat sibuk bolak balik kota untuk mengurus berkas perkuliahannya. Sehingga sangat jarang aku bertemu dan menghabiskan waktu bersamanya lagi.

Meskipun begitu, rasaku tidak akan pernah berubah untuk seorang Amir, dia adalah inspiratorku, penyelamat bahkan bagian dari kekuatanku. Kesibukan kami bukan alasan untuk tidak peduli pada rasa yang telah terjalin. Rasa itu masih bertambah dan bertumbuh setiap harinya. Rasa itu pun masih bertahan sampai saat ini. Cinta yang kuat tidak akan pernah meminta untuk saling memberi namun juga saling memahami. Itulah yang kulakukan saat ini, aku memahami pilihannya dan aku tidak memintanya untuk selalu berada di sisiku, aku percaya bahwa cinta itu akan selalu terjaga dengan baik.

Amir selalu berkata " Jaga hatimu! ". Kadang aku selalu tersenyum ketika mengingat kata-kata itu. Aku membayangkan wajahnya, dia sangat menggemaskan jika sudah berbicara perihal perasaan. Wajahnya sangat serius dan aku selalu selalu menggodanya untuk memecah suasana. Itulah Amirku, dia kebahagiaanku dan akan selalu begitu.

Masih DenganmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang