Pendahuluan

41 20 0
                                    

Semoga kalian menikmati ✨

***

Sebelum hari-hari kelam dengan memori yang kelabu itu datang, ruangan kecil yang dikenal sebagai kamar pribadi selalu menuntun dirinya untuk menuliskan berbagai kisah dan luhur budi yang terkasih. Mulai dari cahaya surya yang tersimbur perlahan ke dalam bilik melewati bingkai jendela jungkit, dan kilaunya merambat melewati partikel-partikel renik yang asik menari-nari di udara, tampak seceria anak-anak dalam permainan ular naga, yang dengan serempak mereka bahu-membahu menggambarkan betapa ayu wajah dari kekasihnya. Langit berwarna biru yang bisa dilihatnya dari perebahan, mereka secerah dan sedamai aura yang meruap dari kulit lembut sang pujaan hati. Begitu juga kalender mungil yang sempat mereka beli bersama dari toko serba ada di pusat perbelanjaan kota, tanggalan-tanggalan itu telah mengingatkan dirinya akan berbagai agenda teristimewa pasangan hidupnya. Bahkan alat-alat tulis yang hampir setiap saat berserak di lantai kamar putih bersih, warna-warninya semarak pakaian dari orang tercinta di dunia, untuk selamanya.

Namun, puluhan tahun setelah hari-hari yang indah, pria tangguh tersebut tidak lagi mengetahui sosok kekasih yang telah memberikan separuh jiwanya, karena demensia yang tiba-tiba merampas milyaran ingatan dari masa lalunya. Seperti bentuk hati yang digambar di permukaan pasir pantai, diterjang segelombang ombak berbuih yang meniupkan desir nyanyian sedu. Dia hilang, jejak yang tersisa menyiratkan penyesalan berkedok harapan.

Kadang dia berpikir jika kehilangan warna-warni dunia lebih baik dari-pada harus kehilangan ingatan akan orang terkasihnya. Sementara itu, orang-orang di sekitar mengatakan padanya, bahwa penyakit tersebut merupakan hal yang wajar terjadi pada seorang yang berjalan ke penghujung usia. Begitulah, umur daripada pria tangguh tersebut hampir menginjak tujuh puluh lima tahun.

Suatu hari, setelah sekian lama bertahan hidup bersama sisa-sisa ingatan yang dimilikinya, terbesit dalam hatinya sebuah janji untuk tidak pernah melupakan sosok yang tercinta. Tentu saja. Bukankah ini hal yang lazimnya dirasakan orang dewasa? Apa ada satu manusia yang dengan mudah melupakan pasangan hidupnya? Mereka yang tercinta, telah tinggal dan mengecap pahit manis dunia bersama.

Setelah sekian lama pria malang berusia lanjut itu melupakan wajah kesedihan, kini sosoknya datang dengan rupa paling mengerikan untuk mengadili. Pria itu melihat warna-warna gelap dari rampai manik-manik hidupnya melebur pada wajah terbengis yang pernah ditemuinya, tatapan sang kesedihan itu juga terlihat tidak waras. Katanya, pria kecil berwajah keriput dan penuh dengan janggut putih itu terdakwa bersalah karena telah mengingkari ikrar janji sehidup semati, dan ada hukuman yang menanti sebagai pertanggung-jawaban. Tanpa dapat bicara, pria malang itu hanya bisa tersujud meminta-minta maaf dan perlahan tangisnya pun pecah, dia mulai meringkuk, melipat sepasang tangan dan kaki miliknya sejadi-jadinya, dan tersudut ke dinding kamar yang terasa semakin menyempit. Pria itu lebih sering tinggal sendirian di kamar pada hari-hari senjanya, merengek di atas perebahan yang awalnya penuh kasih sayang, kemudian dia terisak-isak di balik bantal putih bersejarah, sedikit basah karena tetes-tetes air matanya mengalir tanpa mengenal arah. Tidak peduli apa yang telah membuatnya menangis. Dia kehilangan, sesuatu yang tidak tergantikan. Persis seperti seorang anak kecil yang kehilangan mainan baru untuk pertama kalinya, atau mungkin lebih dari itu.

Dia semakin bimbang, ketika anak-anak dan cucunya mengatakan dengan lugas bahwa dia telah menikahi dua perempuan. Dia hampir tidak percaya dengan semua kenyataan sampai menemukan bukti fisik yang masih tersisa. Apa yang dia ingat hanyalah menjelajahi peradaban seorang diri, dari satu ke yang lain, melewati ruangan-ruangan persegi yang beraroma perekat, tinta hitam, dan sel dari batang pohon.

Dikatakan bahwa dia menikahi istri kedua setelah beberapa tahun meninggalnya istri pertama. Sehari mengingat apa yang telah mereka nyatakan, esoknya dia bertanya lagi kepada anak-anak dan cucunya. Hal ini terus berlanjut walaupun dia lupa dengan apa yang pernah ditanyakan.

Dia cukup berusaha untuk terus-menerus tetap mengingat, bahkan bibirnya basah ketika menyebut nama kekasihnya, walaupun akhirnya kembali lagi tidak mengingatnya. Ini sebenarnya bukan masalah yang patut dibesar-besarkan, toh masih bisa ditanyakan kepada anak dan cucunya. Siklus tanya-jawab ini benar-benar terus berlanjut hingga bibirnya kehilangan apa-apa yang seharusnya dipertanyakan. Tidak terhitung berapa kali telah bertanya dan mencari suatu cara agar bisa mengenali wajah sang istri. Anak dan cucuku hanya menggeleng tidak tahu, karena tidak ada lagi foto yang tersisa. Mereka bilang dialah yang merahasiakan semuanya. Dia hanya termenung dan bertanya-tanya.

Apa aku sedang terjebak dalam program komedi televisi? Sungguh lelucon yang menyebalkan.

Begitulah dia menua di suatu kota yang penuh dengan bunga.

Cerita KakekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang