Rencana Darma

6 6 0
                                    

Lusa nanti, umur Kakek akan genap tujuh puluh lima tahun, dia tidak tahu kapan hari akhirnya, walau rasanya seperti tinggal menghitung hari saja. Namun, jika dilihat dari penampilan fisik masih cukup sehat-sehat saja, kecuali beberapa ingatan yang pergi entah ke mana. Mungkin berada di dahan-dahan pohon yang bersebelahan dengan jendelanya, atau dalam kedua laci meja belajarnya.

Ngomong-ngomong soal ingatan, dia masih mengingat nama istri pertama-nya pagi ini. Dia sempat berpikir, jika ingatan tidak bisa kembali, mungkin saja dia bisa mengumpulkan data dan riwayat hidup mereka lagi.

"Kek, masih ingat nama istri Kakek?" tanya Darma, terlihat baru selesai dari menyiram tanaman, dia masih membawa gayung dan sebuah ember. Sedang-kan kakek duduk-duduk di teras rumah menandangi rumput-rumput hijau yang semakin lebat, "Salsabila bintu Abdullah," jawab Kakek yakin, sambil tertawa kecil, kemudian menyeruput kembali susu jahe hangat yang disediakan menantu-nya untuk pagi ini. Sebenarnya sang kakek masih mengingat-ingat terus nama itu.

Umumnya, penamaan atas suatu eksistensi dilakukan setelah menetapkan kebenaran wujudnya. Yah walaupun penamaan tersebut bersifat arbitrer. Seperti halnya memberi nama matahari untuk suatu benda angkasa raksasa yang menghasilkan cahaya dan panas. Pada waktu yang berbeda, seseorang menyebutkan bahwa suatu bidang datar dengan beberapa kaki penyangga yang biasa digunakan untuk makan dan menulis, dinamakan meja. Kasus ini berbeda, kini Salsabila bintu Abdullah hanya sebuah nama, benar-benar hanya sebuah nama, tanpa ada suatu arti dalam kepala, suatu kesan, ataupun kenangan padanya.

Mungkin begitulah. Suatu kondisi abnormal selalu mendorong manusia untuk melewati batas lazim yang telah disepakati kebanyakan.

"Ini sebuah kemajuan, Kek. Jika, hmm, ada kemungkinan ingatan Kakek tidak bisa kembali, mungkin Kakek bisa mengumpulkan kisah-kisah istri Kakek seperti mempelajari sejarah!" kata Darma, saat ini terlihat bersemangat. Dia juga memikirkan apa yang telah dipikirkan kakeknya, tetapi jelas dia tidak merasakan apa yang kakeknya rasakan.

Di balik sikap Darma yang mungkin dingin, ada empati yang hampir dapat membantunya merasakan kesadaran dan perasaan kakeknya. Sesekali Darma bertanya pada dahi keriput kakeknya, kelopak mata yang mengendur, dan lensa yang memutih, atas penyesalan terbesar dalam hidupnya. Seakan dia mendengar dari bisik jemari kakeknya, ada tangisan dan nyanyian sedu yang terekam jelas dalam alunan denyut nadi. Terkadang rengeknya cukup jelas menyiratkan betapa perihnya kehilangan.

"Lusa umur Kakek sudah genap tujuh puluh lima tahun. Apa ada yang sesuatu Kakek inginkan? Wisata alam, Kek! Jika tidak kita bisa buat perayan kecil, Darma dan Ibu akan memasak rendang terenak, atau kita bisa memesan martabak raksasa yang terenak di Pasar Kuno," tiba-tiba saja Darma mengoceh.

"Heh! Kakek itu tidak makan makanan yang dioleh sembarangan," tukas Fatmawati, ibu kandungnya Darma, dengan nada cukup tinggi. Matanya memi-cing tajam tepat ke dahi anaknya, terlihat sebal dengan ide-ide ngawurnya.

Kring! Ponsel milik Fatmawati yang dia simpan di meja makan berdering, seseorang membuat panggilan. "Halo Bi!" sapa seseorang terdengar cerah lewat jaringan telepon, "Bagaimana jika kita menginap di vila saat ulang Kakek nanti. Aku menemukan lokasi yang menyenangkan, di daerah pegunungan terpencil, berdekatan dengan danau. Kita akan menemukan ..."

"Tidak," balas Fatmawati singkat, dan segera memutus jaringan telepon.

"Siapa, Bu?" tanya Darma. Dia tidak dapat mendengar percakapannya.

"Penduduk Sumeria," balas Fatmawati, terlihat kesal.

Sesaat lenggang, dan Fatmawati sibuk menyiapkan seporsi sarapan. Kakek kembali berbicara, "Saat ini Kakek tidak lagi punya keinginan penting, hanya saja Kakek selalu ingin ingatan akan istri Kakek kembali," kepada Darma.

Cerita KakekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang