Bab 2 : Pergi

17 1 0
                                        

Setelah pertengkaran semalam suasana pagi di meja makan nampak hening. Adinda yang biasanya ceria sebelum sekolah menanyakan banyak hal tentang apa yang ia pelajari semalam. Biasanya sebelum sekolah esok hari Adinda mempelajari mata pelajaran yang akan diajarkan oleh gurunya.

Mas Andrean juga terlihat kusut dengan rambut yang belum disisir serta dasi yang belum dipakai. Biasanya ia sudah rapi dengan rambut sudah memakai gel rambut. Wangi tubuhnya juga berbeda, ia belum menggunakan minyak wangi seperti biasanya.

Aku sebetulnya merasa bersalah sebab kejadian semalam disaksikan putriku. Aku mencoba masih bersikap biasa-biasa saja. Seolah tidak terjadi apa - apa semalam. Mencoba mencairkan suasa agar tidak menjadi kaku. Suasana seperti ini tidak pernah kami alami.
Aku melirik wajah kusut Adinda, kusiapkan makan untuknya di meja dan sembari menyiapkan bekal sarapan untuknya dan mas Andrean.
Kotak bekal nasi yang kusiapkan, ku taruh di atas meja.

"Makan yang banyak yaa sayang! "

Aku duduk di depan Adinda, sambil tersenyum dan melihatnya makan. Memang tidak bisa dibohongi selera makan kami menurun akibat peristiwa semalam. Buku-buku yang berserakan pun belum juga aku rapikan kembali. Sisa - sisa pertengkaran yang aku sendiri tidak menginginkannya.

Adinda selesai makan, kuberdiri merapikan rambutnya, memasukkan bekal di dalam tas sekolahnya berwarna pink yang lucu. Tas ini adalah pemberian ayahnya saat ulang tahun Adinda beberapa bulan lalu.

Setelah mas Andrean siap untuk berangkat. Ku kecup kening Adinda. Di samping pintu ia sudah siap untuk berangkat. Seperti biasa ayahnya mengantarkan Adinda sekolah lebih dulu sebelum akhirnya dia berangkat bekerja.

"Hati - hati ya mas"

Rutinitas pagi sebelum berangkat ku cium tangan suamiku. Dengan harapan besar ia bekerja dengan baik dan doaku agar diberi kelancaran selama bekerja. Yaa.. Semuanya nampak normal seperti hari - hari biasanya.
Ku lambaikan tangan, melempar senyuman akhirnya mereka berdua masuk mobil dan pergi perlahan meninggalkanku di rumah.
Hari ini rencana kerjaku menyelesaikan konsep project yang belum terselesaikan. Pikiranku benar-benar masih kacau namun sebagai pekerja profesional hal - hal pribadi kukesampingkan. Event besarku harus terselesaikan dengan baik.

Kukembali ke meja makan, melangkah dengan pelan dan sedikit ada rasa yang tak enak menyelimuti diriku. Hati masih ingin marah ketika mengingat foto dan percakapan itu. Memang percakapan itu tidak menjurus ke percakapan yang intim. Namun ada kalimat menanyakan sudah makan kemudian mengajak makan. Foto mas Andrean sedang makan berdua dengan Rita teman kantornya yang aku juga mengenalnya.

Ku melihat di meja bekal mas Andrean ketinggalan. Bekal yang sudah aku siapkan. Ku membersihkan meja makan memasukkan bekal mas Andrean di tas kecil. Aku lari ke kamar untuk bersiap mengantar bekal ini.

Hal yang membuat aku tidak enak adalah mas Andrean selalu ku bawakan bekal makan siang. Tapi kenapa ia masih makan di luar kantor bersama Rita. Apa dia tidak memakan bekalku.

Setelah merapikan rambut dan pakaianku aku menuju ke kantor mas Andrean, berkali - kali melihat jam di tangan. Berharap waktu tidak begitu siang karena aku telat mengantarnya. Matahari masih di titik pukul sepuluh. Mungkin sedikit mendekati terlambat. Sebelum mas Andrean lebih dulu makan siang di luar bekal ini harus segera kuberikan.

Kumelihat kantor mas Andrean yang besar. Kantor yang mengingatkan dulu awal dia masuk, aku yang mengantarkannya melamar pekerjaan. Perlahan ku memasuki kantornya, satpam menyapaku karena keamanan sudah kenal bahwa aku istri Andrean.

Kulangkahkan kakiku menuju ke ruang kerjanya. Pintu sudah ada di depanku, ku hembuskan napas panjang berharap sekalian aku bisa meminta maaf atas kejadian semalam. Tidak pernah aku terpikir untuk bertengkar sehebat itu. Selama rumah tangga kami tidak pernah terjadi pertengkaran. Kami selalu menyelesaikannya dengan baik - baik secara dewasa.

Bunda, Jangan BerceraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang