Prolog

1.3K 111 2
                                    

Kedua pipi Seokjin tampak mengembang seperti roti panas yang baru dikeluarkan dari panggangan. Pun senyum terlampau penuh yang tak kunjung membuat bibir gemuknya pegal. Rona merah pelan-pelan merambati pipi dan telinga.

Rasanya, dia tidak pernah sebahagia ini.

Sebab, malam ini Seokjin akan melakukan kencan buta untuk yang pertama.

Ah, organ sebesar kepalan tinju di dadanya berdegup tak seirama. Gugup menyergapnya.

Seokjin harap rekan kencannya nanti adalah sosok laki-laki periang dengan senyuman yang manis, penuh perhatian dan semoga saja dia bukan sosok pemarah terhadap tingkah Seokjin yang kadang kekanakan.

Yah, walaupun hanya kencan buta, Seokjin boleh berharap bukan?

Ada beberapa tangkai mimosa dalam genggamannya. Seokjin menyukai bunga-bunganya yang mungil. Selain itu warnanya juga cantik, kuning cerah seperti kilauan emas.

Seikat mimosa itu adalah penanda, agar rekan kencannya dapat mengenalinya di antara kerumunan manusia yang sesak.

Alih-alih kafe atau tempat makan untuk dinner romantis, Seokjin justru memilih pusat perbelanjaan sebagai tempat bertemu. Supaya kencan pertama mereka tidak terlalu serupa dengan pasangan lain pada umumnya.

Seokjin bersikeras begitu.

Sedikit kerumunan di tepi jalan mengganggu fokus Seokjin. Sirine ambulans terdengar bergaung, menabuh gendang telinganya kuat-kuat dan tak berjeda. Lehernya sedikit memanjang dan sedikit berjinjit, mengandalkan tubuh tingginya.

Ada kecelakaan. Sepertinya korban tabrak lari. Korban tengah dinaikkan ke dalam ambulans. Kain putih yang menutup tubuh korban terkena bercak dan noda merah pekat.

"Dia bernasib sangat malang," bisik Seokjin menghiba.

Tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di sana, kakinya kembali melangkah. Pelan menuju ujung jalan. Sesekali melompat kecil, seriang suasana hatinya.

Ups!

Hampir saja!

Saking bahagianya, Seokjin tidak melihat kanan kiri sewaktu menyeberang.

Kalau terlambat menghindar sedikit saja pasti Seokjin akan bernasib sama dengan korban tabrakan di perempatan tadi. Laki-laki yang mengenakan kemeja putih disingsing sembarang dan celana hitam itu mengingatkan diri agar lebih berhati-hati.

Lagipula, bagaimana bisa pengemudi mobil itu tidak membunyikan klakson atau mengerem saat melihat tubuh seseorang? Ataukah pengendaranya sedang mabuk?

Dasar manusia!

Tapi ... tapi....

Seokjin tersentak sesaat. Menyadari sesuatu.

Mobil warna gelap itu tadi melewati tubuhnya kan?

.

.

.


Pada detik itulah, Seokjin menyadarinya.

Bukan hanya mobil berkecepatan tinggi tadi yang membuat Seokjin dilanda kebingungan parah.

Ada banyak orang-orang yang lalu lalang, bahkan sudah tak mampu terhitung oleh jemari tidak lurus milik Seokjin. Namun, tak sekalipun tubuh mereka bersentuhan dengan Seokjin di tengah keramaian itu.

Mereka semua tidak melihatnya.

Orang-orang melawatinya begitu saja. Acuh. Bahkan sebagian dari mereka berjalan menembus tubuhnya tanpa merasa terganggu.

Sampai Seokjin menghentikan langkah kaki putus asanya di depan sebuah gedung dengan dinding yang penuh oleh kaca.

Tidak ada.

Seokjin tidak menemukan sebentuk tubuh mungilnya di pantulan cermin. Dirinya menyamai kehampaan yang tak terlihat oleh manusia-manusia itu.

Setitik air luruh dari matanya. Mengikuti kedua lutut yang seketika melemas.

Mungkinkah ... aku sudah mati?

.

.

.

"I am the wind dancing with the bamboo flute."
- Soen Nakagawa

.

.

.

Halo....
Ini cerita Namjin yang pertama.

Makasih yang udah mau mampir. Pencet bintang ataupun kasih masukan.

Moga lancar nulisnya sampe tamat. Hehe....

Sampai jumpa di part selanjutnya 💜💜💜

Finding Light - NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang