Part 10 - Take Me Back To The Night We Met

328 53 2
                                    

Kelopak mata Namjoon terasa berat sekali untuk terlipat naik. Detik-detik selanjutnya, cahaya mengabur mulai menyambangi manik gelap itu. Namjoon mencapai kesadaran yang belum sepenuhnya utuh. Ketika mencoba beranjak bangun, rasa nyeri akibat luka terbuka pada sekujur punggung dan wajah kembali berkedut menyiksa.

"Nam! Kamu berbaring saja."

Adalah Seokjin dengan wajah paniknya tergopoh membimbing laki-laki itu dengan hati-hati agar kembali rebah di atas kasur empuknya.

"Jin ... apa ... apa yang—"

"Karena itu bukan luka biasa," pungkas Seokjin tanggap agar laki-laki itu tidak terlalu memaksa untuk berbicara. "Cakaran para Roh Kelaparan memiliki racun yang cepat membusuk pada kulit manusia."

"Berarti ... aku akan mati dalam waktu dekat?"

"Jangan bicara begitu. Aku pasti menyelamatkanmu. Kamu istirahat saja, aku akan pergi sebentar mencari penawar lain yang lebih ampuh." Seokjin beranjak pergi dengan tetap memandangi Namjoon, berjalan mundur-mundur lalu menghilang di balik dinding kokoh sewarna bebatuan gamping.

Namjoon ingin mencegah, namun luka-luka itu bahkan melarangnya untuk bergerak banyak. Dalam kepayahan, Namjoon menengok jam digital di atas nakas dan dia menyadari sekarang sudah pagi. Kemarin petang, selepas melarikan diri dari hutan kematian itu, selama perjalanan Namjoon sudah merasa tidak karuan dengan tubuhnya sendiri. Rasanya, seluruh rasa sakit bermacam-macam yang ada di dunia bergantian menimbunnya hidup-hidup.

Puncaknya, Namjoon ambruk setelah melewati ambang pintu rumahnya dengan pakaian basah. Berarti, Seokjin yang menggantikan celana serta membebat luka-luka yang cukup banyak di badannya dengan lilitan perban hingga Namjoon nampak seperti mumi.

Sepeninggal Seokjin, Namjoon mendengar ada suara yang datang mendekat. Apa itu Seokjin? Tapi, itu suara wanita.

Oh, Namjoon melupakan Bibi Choi.

Namjoon dengar suaranya memanggili namanya sejak menaiki tangga. Pasti Bibi Choi tahu jika Namjoon berada di rumah karena mobilnya tetap parkir di halaman. Rutinitas Namjoon saat tidak bekerja, tidak banyak menghabiskan waktu di kamar. Dan Bibi Choi tahu, laki-laki itu biasanya mengerjakan apa saja dengan semangat, entah itu memasak, berceloteh dengan bonsai-bonsainya atau melakukan olahraga ringan ketika pagi.

Mulanya Bibi Choi memanggilnya lembut, seperti biasa. Namun setelah menemukan Namjoon tergolek pucat di atas ranjangnya, Bibi Choi langsung berteriak panik. "Namjoon-ssi! Apa yang terjadi padamu?! Tubuhmu penuh luka. Aku akan segera panggilkan dokter!!"

"Bibi! Tidak usah!" Namjoon mencegah menggunakan sisa-sisa tenaga.

"Namjoon-ssi. Lihat keadaanmu!" sela wanita dengan rambut pendek terkuncir itu. Masih merisaukan keadaan Namjoon yang sudah dipastikan tidak baik-baik saja.

"Aku tidak apa."

"Baiklah." Bibi Choi mengalah. Tidak akan mendebat lagi. Dia melangkah lebih dekat dengan tubuh Namjoon. "Ya ampun. Apa kamu dihajar berandal dalam perjalanan pulang semalam? Aku akan buatkan sup hangat untukmu."

Bibi Choi turun ke dapur. Saat baru hendak merebus beras, terdengar suara bel yang ditekan dua kali dari interkom gerbang. Bibi Choi lantas meninggalkan beras dalam panci terendam di atas nyala api.

Lewat layar interkom, Bibi Choi melihat seorang laki-laki mungil menunggu di depan gerbang. Wajahnya asing. Bibi Choi tidak pernah melihatnya datang. Ah, barangkali salah satu teman Namjoon. Bibi Choi kan tidak begitu banyak tahu. Kehadirannya terbatas di rumah besar itu.

Saat Bibi Choi membukakan gerbang, laki-laki berwajah manis itu tersenyum. Kedua matanya menghilang akibat desakan ujung bibir yang terlampau tinggi. Pakaiannya seperti potongan hanbok, meskipun laki-laki itu nampak hanya memakai jeogori panjang polos warna kulit gandum sebagai luaran.

Finding Light - NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang