Part 9 - Sinister Dusk

367 61 2
                                    

Pasang mata itu selalu mengikutinya dari kejauhan. Kadang jauh di atas ranting-ranting pohon. Kadang bersembunyi di balik tumbuhan perdu liar yang diabaikan.

Pasang mata itu turut bersaksi. Ketika bayi mungil dalam timangan ayah ibunya mulai melangkah kecil dan bergetar-getar di atas rerumputan.

Musim-musim selalu berganti dan mengulang. Anak itu pun tumbuh pesat. Matanya jernih, langkah-langkahnya kuat dan gesit menapaki apapun. Tawa riang selalu hadir pada bibirnya. Manakala hal itu berlangsung, sepasang titik kecil bermunculan pada pipinya. Asal tawanya sederhana. Anak anjing yang berlari-lari menangkap frisbee, bermain hujanan dan ketika dia memiliki banyak teman seusianya. Teman-teman yang berbeda, yang tidak terlihat.

Oh, pemilik sepasang mata itu merasa tidak suka!

Karena, dia tak punya kemampuan untuk datang dan mendekati anak itu. Ceruk berisi air berlumut itu telah menjebaknya beratus-ratus tahun lamanya.

Akhirnya, sang pemilik mata menemui waktu yang tepat. Ketika anak itu berusia sepuluh. Anjing peliharaan sang anak luput dari penjagaannya saat diajak berkeliling. Anjing dengan bulu-bulu halus warna putih itu berlari ke antara semak-semak di tepian danau.

Itu ulah sang pemilik mata.

Teman-teman anak itu menghalanginya untuk mencari sang peliharaan. Mereka bertikai kecil, beradu teriakan. Semua temannya kompak melarang.

"Jangan pergi ke sana!"

Lalu salah satu temannya berkata lirih karena anak itu tak juga mau mengerti. Tak lupa sebelah tangan membentuk sebuah barikade hidup. "Kamu bisa mati. Dan jadi seperti kami."

Namun rasa takut dimarahi karena peliharaannya hilang membuatnya abai. Anjing itu meraung keras dari dalam sesemakan. Mau tak mau sang anak makin bertambah cemas. Dia datang ke tempat itu. Danau tidak berdasar yang disebut angker oleh warga sekitar.

Kemarilah.

Anak itu makin mendekat.

Kamu akan aman bersama denganku.

Anak itu terlena.

Pemilik mata tersenyum senang. Menunggu kehadiran rumah barunya dari bawah air danau yang beriak-riak ke tepi tertiup semilir. Ialah Namjoon, bocah istimewa yang disenangi oleh kegelapan.

.

.

.


"Namjoon-ssi! Aku tidak tahu kalau di halaman belakang rumahmu terdapat harta karun." Seokjin datang dari halaman belakang, mendekati Namjoon yang tengah bersantai pagi di balkonnya, membaca buku ditemani secangkir teh beraroma kayu manis. Kedua mata naga yang indah itu menyempit di belakang kacamata tipis pada tulang hidung. Lalu jari-jari ramping itu begitu cekatan membalik lembaran kertas yang bertumpuk.

Oh, ya ampun! Setiap orang di bumi pasti beramai-ramai mengutuk Seokjin karena pernah menyebut Namjoon tidak tampan. Seokjin juga tidak sungguh-sungguh mengucapkannya. Sekarang, Seokjin akan bilang jika Namjoon itu sangat tampan. Namjoon adalah laki-laki yang perhatian dan berwibawa. Tapi, dia juga terlihat lucu apabila sedang marah ataupun beradu argumen.

"Harta karun?" tanya Namjoon dengan suara seraknya. Sejenak menyesap teh di cangkirnya pelan.

"Aku baru menemukannya tadi! Ingin lihat?"

Dahi Namjoon mengernyit. Tak begitu lama, seolah menyetujui, tangannya bergerak melepas kacamata dan melipatnya. Buku tebal bersampul warna-warna yang gelap itu ditutup, diletakkan di dekat cangkir teh. Kacamata tipis itu menumpang di atasnya. Namjoon berdiri dari kursi dan membiarkan jari-jari Seokjin menggandengnya, menunjukkan arah jalan.

Finding Light - NamjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang