Pagi hari datang dan Nalla bangun lebih dahulu. Sesuai perkataannya semalam. Mereka sekacau itu. Ia terbangun di pelukan Karan, mantan suaminya. Setelah malam yang terasa seperti penuh penyesalan dan sedikit bumbu panas.
Nalla memijit keningnya pelan. Dia sadar dan Nalla juga sangat yakin jika Karan dalam kondisi sadar semalam.
"Dasar Nalla tolol!" umpat Nalla kecil.
Ia harus cepat-cepat bangkit dari kasur ini dan berberes sebelum Karan bangun. Lalu mereka harus membicarakan lagi hal bodoh lainnya yang sudah diciptakan semalam. Kepala Nalla berdenyut kencang memikirkan semua itu.
Setelah bangkit, ia meraih bathrobe miliknya yang jatuh di lantai lalu menutup tubuh polosnya dengan bathrobe tersebut. Juga baju renangnya yang bahkan sudah membasahi sebagian kecil area lantai kamar ini. Nalla mencoba mendinginkan kepalanya di bawah guyuran air dingin. Meluruskan semua yang sudah terjadi.
I still love you, Bun.
Ucapan Karan semalam terngiang jelas di benak Nalla. Mengingat itu saja, jantung Nalla kembali berdetak kencang. Terdengar menyenangkan dan memberikan sensasi tersendiri bagi Nalla.
Seharusnya rasa itu sudah tidak ada. Karan tidak lebih dari saudara laki-lakinya. Tidak lebih dari sahabat terbaiknya. Tapi yang Nalla rasakan berbeda. Dia seperti berada di beberapa tahun yang lalu. Saat Karan menyatakan cintanya pada Nalla dulu.
Reaksi yang sama. Detak jantung yang sama. Rasa menyenangkan yang sama.
Gue masih sayang sama Karan. Perasaan gue nggak pernah hilang buat dia. Batin Nalla.
Yang Nalla tau, Karan masih mencintainya dan hanya Karan yang masih memegang tempat terdalam di hati Nalla. Keputusan bercerai saat itu adalah kesalahan terbesar mereka berdua.
Setelah Nalla selesai mendinginkan kepalanya, ia mendapati Karan sudah duduk di ruang tengah. Terlihat sekali jika dia sengaja menunggu Nalla di sana.
"Bun, kita perlu ngomong dulu," ungkap Karan.
Ruang santai itu kini terasa sangat sunyi. Nalla yang diam dan Karan yang juga sama diamnya. Karan tau ia harus berbicara tapi tidak tau dari mana ia harus memulainya. Semua ini salah tapi justru membuat Karan lega. Kejujurannya semalam membuat Karan merasa jauh lebih baik meski itu salah.
"Bun, mungkin lo jadi nggak nyaman sama gue. Setelah apa yang gue buat semalam," ungkap Karan.
Nalla masih terus menatap wajah Karan. Ia ingin melihat apa pria itu menyesal? Atau menganggap hal semalam adalah kesalahan? Padahal ia sedikit berharap jika yang terjadi semalam adalah murni isi hati Karan yang terpendam.
"Tapi semua itu nggak salah, Bun."
Mata Karan menatap dalam Nalla. Ia berbicara serius sekarang. Karan sadar apa yang sudah ia lakukan. Alkohol tadi malam tidak memberikan efek apapun dalam kesadarannya. Hanya menyuntikkan sedikit rasa tenang yang berakhir Karan kebablasan mengatakan semuanya.
"Gue masih sayang sama lo. Setahun lebih setelah perceraian kita dan perasaan gue nggak pernah berubah sejak hari pertama gue jatuh cinta sama lo."
Jemari di tangan kanan Karan tampak sibuk meremas jari-jari lain di tangan kirinya. Seperti ia tengah meyakinkan diri sendiri jika tindakannya mengatakan ini semua adalah benar.
"Lo tau keadaan kita, kan, Ran?" Akhirnya Nalla bersuara.
Tidak ada nada tegas, nada menghakimi, ataupun nada sinis di dalam setiap perkataannya. Yang terdengar di telinga Karan lebih seperti nada lembut yang sedang mencoba mengerti dirinya. Sama seperti Nalla yang tengah mencoba memberi pengertian kepada kedua putri mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Kita Berpisah [COMPLETED]
Ficción GeneralBercerai setelah memiliki dua anak memang akan berdampak besar. Apalagi dampak pada anak-anak yang masih kecil. Itulah yang dirasakan Embunalla dan Karan. Mereka bercerai setelah 8 tahun membina rumah tangga. Kedua anak mereka, Gaia dan Giva yang m...