Chapter 7

82 9 1
                                    

Kosong.

Itulah yang di rasakan Naruto saat dia memasuki kamar Boruto. Kamar yang selalu rapih karena Hinata rajin merapihkannya. Naruto kemudian duduk di tempat tidur Boruto dan terbayang wajah Boruto yang sedang tertidur di matanya.

Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. Kini putranya sudah pergi untuk selamanya meninggalkan ayah bodohnya ini yang bahkan belum bisa membahagiakannya. Hinata yang sedari tadi mengamati sang suami nya itu berjalan menghampirinya dan memeluknya.

"Hi...Hinata maafkan aku hiks...hiks"

Hinata tak kuasa menahan tangisnya. Ini pertama kalinya dia melihat Naruto selemah ini.

"Ini semua salahku andaikan... Waktu itu... Hiks.."

"Naruto-kun ini bukan kesalahanmu" ucap Hinata seraya membingkai wajah Naruto dengan lembut.

"Kita adalah keluarga Shinobi, dimana kita harus siap dengan segala konsekuensinya. Putra kita adalah putra yang hebat dan sekarang dia sudah bersama dengan  Otou-san, Oka-san dan Jiraya-Sama. Dia pasti akan marah melihatmu seperti ini" ucap Hinata.

Sesungguhnya Hinata juga merasakan kesedihan yang sangat mendalam. Sebagai seorang ibu yang mengandung 9 bulan dan juga yang merawatnya tentu Hinata merasa terpukul  atas berita kematian putranya. Tetapi dia harus tetap tegar karena suaminya saat ini sedang butuh dukungan. 

Himawari yang melihat kedua orang tuanya menangis pun berlari ke arah kamarnya dan tak sengaja menabrak Kawaki.

"Himawari, kenapa?" Tanyanya melihat Himawari menangis.

Himawari langsung memeluk kawaki dengan erat berharap bisa menghilangkan rasa sedihnya. Kawaki yang sudah mengerti akan situasi membalas pelukan sang adik.

"Tenanglah..." Ucapnya

Kawaki tidak mampu berkata-kata manis dan lembut mengingat bagaimana dia di besarkan tanpa rasa kasih saya sedikit pun.

"Boruto ni-san hiks...hiks.."

Kawaki mengendong Himawari menuju kamarnya karena dia bisa merasakan Himawari terlelap karena kelelahan menangis. Menyelimuti Himawari kawaki berjalan menuju patung hokage.  Ke patung  Hokage ke-7.

"Desa yang indah" Ucapnya.

"Tenang saja aku akan menggantikan mu untuk menjaga Nanadaime, Boruto."

--

Hujan di luar tak pernah terasa sangat menyedihkan seperti ini. Malam yang di penuhi  dengan rasa sedih yang sangat dalam. Memegang erat bingkai foto tersebut, wanita tersebut menggigit bibirnya kuat-kuat agar tidak mengeluarkan suara isakan sedikit pun.

Knock...knock..

"Mama aku tidak mau-papa?"

"Ya ini aku." Ucap Sasuke

"K-kapan kau pulang?" Tanya Sarada

"Sejak tadi." Ucap Sasuke

Sarada memutuskan kontak mata dari sang ayah. Dia tidak ingin ayahnya melihat wajah berantakannya sekarang. Sasuke berjalan mendekati sang putri lalu memeluknya. Tentu hal ini membuat Sarada terkejut.

"Menangislah sepuasnya. papa akan menemanimu" Ucapnya. Sasuke memahami penderitaan yang sedang di alami oleh Putrinya ini. Bahkan saat di kantor hokage tadi Sasuke melihat Sarada telah membangkitkan Mangekoyo Sharingnya setelah mendengar tewasnya Boruto. Sehingga Sasuke dapat menarik kesimpulan bahwa putrinya sangat menyayangi murid bodohnya itu.

Sarada menyerah dia tidak tahan lagi. Sarada menangis dengan keras di pelukan sang ayah. Sakura yang melihat mereka dari jauh pun ikut merasa sedih. Satoshi dan Satoru untuk pertama kalinya mereka melihat sang kakak tertua mereka menangis sekeras ini.

waiting for youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang