Bagian 1

180 20 1
                                    

Lima tahun lalu, di tempat ini kita bermula.

Aku mengedarkan pandangan, berhenti pada objek yang menuntunku menuju kenangan indah masa lalu.

Pohon kelapa,
Jungkook, apa kau mengingatnya?

Saat itu ia berjanji akan ikrarkan janji suci bersama di sini, berlatarkan pohon kelapa yang kami tanam bersama.
Kini, pohon-pohon itu berdiri kokoh menantang angin sedangkan kami runtuh diterpa angin, lucu bukan?

Ah sial, rasa sakitnya begitu nyata.
Aku meremas erat jaket yang membungkus tubuh, berharap bisa sedikit mengurangi sesak dalam dada. Tapi rasanya percuma, air mataku kembali luruh untuk kesekian kalinya.

***

Kalian tidak akan tahu betapa pentingnya pantai ini untukku. Karena di sini, kisah cintaku bermula.
Akan selalu membekas di sudut ingatanku saat ia berkata, "Ah, hari ini bulannya tertutup awan. Kau tau kenapa?"

Aku bukan pemuda yang pintar di kampus, biasa saja. Maklum jika aku merasa gugup saat ia bertanya hal seperti ini. Jadi, yang ku lakukan hanya menggelengkan kepala pelan, memalukan.

Ia tersenyum lembut, sangat tampan. "Bulan sengaja menyembunyikan dirinya karena malu, malam ini kau mengalahkan keindahannya, Ji."

Ya Tuhan! Rasanya seperti jutaan kupu-kupu berterbangan dalam tubuhku, pipiku memanas, dan senyumku mengembang seketika. Suasana romantis di sekeliling kami sama sekali tidak membantu. Jangankan menanggapi perkataannya, untuk bersikap normal saja diriku tak mampu.

Jungkook terkekeh pelan, ku rasakan usapan di kepala. "Ji, boleh aku mengatakan sesuatu?" Aku mengangguk mengijinkan.

"Jimin, sebelum mengenalmu aku merasa hidupku cukup. Berjalan seperti biasa, tanpa sesuatu yang istimewa. Namun, semenjak kau datang, aku merasa kurang, sesuatu dalam dirimu seakan melengkapiku. Senyumanmu, mata indahmu yang berbinar saat kau berceloteh, dan bibirmu yang mengerucut lucu saat kau kesal. Semua yang ada padamu selalu mampu membuatku terpesona."

Setop! Aku tidak bersiap untuk ini, seperti akan terbang ke langit lalu meledak layaknya kembang api. Apakah mahasiswa jurusan sastra memang dilatih untuk berkata manis seperti itu? Tidak bisakah ia membiarkanku bernapas dengan tenang?

"Kau tahu, aku ini pencemburu dan egois. Aku menginginkanmu Jimin, jika kau mengijinkan, maka biarkan aku menjadi pahit dari secangkir kopimu, biarkan aku menjadi datang yang tak mengenal pergi, biarkan aku menjadi rumah yang selalu melindungi. Jimin, aku mencintaimu ...." Sorot matanya begitu memabukkan, otakku seakan berhenti bekerja. Setahun lamanya aku memendam perasaan padanya, tak pernah terbayang jika hal seperti sekarang akan menjadi nyata. Karena bagiku, mencintainya dan selalu bisa berada di dekatnya sudah cukup.

"Kau tak perlu menjawab sekarang Ji, gunakan waktu sebanyak yang kau mau. Aku akan selalu di sini." Tidak, tidak, jangan raut sedih itu. Aku juga menginginkanmu Jungkook, tunggu sebentar, jantung sialanku terus berdetak tak karuan.

Lima menit berlalu,
sepuluh menit,
setengah jam sudah kami bertahan dengan sunyi, hanya suara ombak dan pepohonan tertiup angin yang terdengar. Debar jantungku masih bertalu-talu, tapi tak semenggila tadi. Dan aku mulai jengah, malam ini biarkan cinta kami jadi satu.

"Jungkook ... Bolehkah aku bertanya sesuatu?"

"Tentu, tanyakan apapun Ji." Aku tahu dia kecewa, tapi senyum manis tak pernah lepas dari wajah tampannya.

"Jungkook, menurutmu apakah matahari akan baik-baik saja jika bulan tak bersamanya?" Ia menatap ke arah bulan, seolah meminta jawaban dari yang bersangkutan, ah si besar ini selalu menggemaskan.

"Entahlah Ji, tapi ku rasa matahari akan merasa hampa tanpa bulan. Mereka saling melengkapi dan terhubung."

"Sama sepertiku Jungkook, aku merasa hampa tanpa dirimu. Kau selalu ada untukku, memastikan aku selalu tertawa walau kau harus bertingkah konyol setiap hari. Kau sosok terbaik yang pernah hadir dalam hidupku, bagaimana mungkin aku tak jatuh cinta padamu?"

Mata bambinya berkaca-kaca, senyuman manis merekah begitu indah. Ku rasakan dekapan hangatnya, debaran dari dalam dadanya tak kalah cepat dari milikku. Cukup lama hingga dia melepaskan pelukannya, lalu menatapku lekat-lekat. Aku tahu, tatapannya meminta ijin, aku tersenyum seraya mengangguk pelan. Detik kemudian, labium tipisnya sudah menyentuh milikku. Kami memejamkan mata, menikmati sensasi luar biasa yang tak pernah dirasa sebelumnya. Beberapa waktu berlalu, Jungkook mulai melumat, sulit untuk mendeskripsikan rasanya, yang jelas aku menyukainya, sangat suka.

Kami menyudahi kegiatan bibir ini saat napas mulai tersengal, saling menatap kemudian tertawa. Udara semakin dingin, ia mengajakku pulang. Aku tak pernah tau jika bergandeng tangan menyusuri pantai akan terasa sangat menyenangkan. Kami pulang mengendarai vespa biru muda Jungkook, ditemani gemerlap lampu jalan. Aku melingkarkan lengan di pinggangnya, terasa nyaman saat dadaku bersentuhan dengan punggung tegapnya. Walaupun langit malam ini tak bertabur bintang tapi ini akan selalu menjadi malam terindah dalam hidupku.

Kini aku mengerti jika mencintai itu memang menyenangkan, tapi saat seseorang yang kau cinta juga rasakan yang sama, maka itu anugrah luar biasa.

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang