Bagian 6

177 21 9
                                    

Janji tak berguna jika hanya berupa kata.

Sudah lewat tengah malam, hujan mulai reda. Aku duduk menekuk lutut, badanku rasanya panas sekali.
Kepalaku pusing, karena menangis. Sakit jika mengingatnya, tapi aku tak pernah bisa lupa.

"Dasar bodoh! Apa yang kau lakukan di sini saat tengah malam?" Taehyung berlari menghampiriku dan mulai mengoceh entah apa itu, aku tak mendengarkan.

"Jimin, ayolah! Ini sudah setahun, kau terlalu berharga untuk meratapi semua ini."

Taehyung benar, tapi aku masih menginginkan Jungkook-ku. Jika bisa, aku ingin menarik perkataanku hari itu. Dia mengabulkan keinginanku, setelah hari itu aku tak lagi bertemu dengannya. Dia menghilang seperti di telan bumi.

Tapi penyesalan tak pernah berarti.
Suka ataupun tidak, inilah akhir dari kisah kami.

***

Hubunganku dengan Jungkook memasuki tahun ke 4. Mungkin hanya perasaanku, tapi kini intensitas bertemu kami tak lagi sesering dulu. Ia bahkan beberapa kali membatalkan rencana kami.

Sibuk berorganisasi, alasan klasik. 

Bukannya tak mempercayainya, tapi sulit untuk percaya saat kau tahu yang sesungguhnya.
Beberapa teman satu organisasi Jungkook datang padaku. Mereka semua mengeluh karena Jungkook sering membolos rapat, dan akulah yang dijadikan sebagai alasan.

"Tolonglah Ji, acaranya sebentar lagi. Kau jangan terlalu manja padanya," kata salah seorang dari teman Jungkook.

Aku bahkan tak melakukan apapun, aku hanya diam menunggu kabarnya sepanjang hari, tapi yang ku dapat justru tuduhan tak berbukti.
Seminggu berlalu tanpa kabar dan temu. Hingga pagi tadi, Jungkook mengirim pesan padaku. Dia ingin bertemu di pantai.
Aku senang tentu, walaupun kesal tapi rasa rinduku lebih besar. Sepulang dari kampus, aku bersiap, memilih pakaian terbaikku. Masih satu jam lagi sampai pukul 5, aku sudah tak sabar!

Aku memakai kemeja putih dan celana denim hitam. Pakaian yang sama seperti saat itu. Aku sangat berharap jika 'masalah' diantara kami akan selesai hari ini. Tapi agaknya aku salah, Jungkook datang 15 menit setelahku.

Dia tak sendiri.
Jungkook-ku bersama seorang wanita.
Hatiku berdenyut nyeri, wanita itu bergelayut manja di lengan Jungkook!

Baru saja ingin membuka mulut, Jungkook sudah lebih dulu memotong.

"Namanya Jasmine, kekasihku."

Dia bercanda kan? Ya, Jungkook-ku bercanda! Tapi ... Kenapa raut wajahnya begitu serius? Dan ... Di mana binar di matanya yang selalu ada saat dia menatapku?

"Aku tidak sepertimu Jimin. Aku ... Aku bukan gay. Kau ... Kau hanya permainan untukku. Jasmine pergi belajar di luar negeri. Dan aku tau kau menyukaiku, jadi ku pikir tidak ada salahnya bermain-main denganmu.
Tapi, sekarang cinta sejatiku telah kembali. Maka ... Aku tak membutuhkanmu lagi."

Bukan Jungkook yang becanda, tapi semesta.

"Jungkook, kau sedang mengerjaiku? Ini tidak lucu sayang. Kau-"

"Cukup Jimin! Tidak ada yang mengerjaimu. Dan tolong, jangan memanggilku seperti itu. Itu ... Itu menjijikan!" Dia bukan Jungkook, Jungkook-ku tak seperti ini. Jungkook-ku tak pernah meninggikan suara saat berbicara padaku! Dan apa itu tadi? Menjijikkan?

"Menjijikkan? Kau bahkan mencium dan memelukku, Jeon. Apa itu juga menjijikkan untukmu? Beberapa bulan terakhir aku terkurung dalam kebingungan seorang diri. Sibuk mencari tahu kenapa kau seolah menjauh? Dan apa kesalahanku?"

Suaraku melemah.
Air mata tak lagi terbendung.
Jika saja ini mimpi, aku bersumpah takkan pernah tidur lagi.
Jungkook menutup rapat mulutnya, sementara wanita itu terus menunduk.

"Tatap mataku Jeon! Mana janjimu?"

"Kau bodoh percaya pada janji, Jimin. Semua orang bisa mengingkarinya. Hah ... Aku tak percaya ini, kau benar-benar mencintaiku?"

Bodoh...
Kenangan kami terlintas di kepalaku, seperti film. Apakah setelah semua yang kami lalui dia benar-benar mempertanyakan tentang cintaku?

"Ya Jeon. Aku mencintaimu. Dan sekarang aku menyesalinya. Sangat menyesal." Napasku memburu, emosi sudah di puncak kepala. Rasa sakit di hatiku, entah kami akan menyesal atau tidak di masa depan. Aku menatap tepat manik gelapnya, mencoba mencari sesuatu. Tapi nihil, mungkin memang begini akhirnya.

"Jeon, kau mengingkari janjimu sebelumnya. Tapi hari ini, untuk terakhir kalinya, berjanjilah kau akan melakukan apa yang kuminta."

Ia mengangguk pelan, raut wajahnya datar.

"Berjanjilah untuk tidak pernah lagi memperlihatkan wajahmu di depanku. Aku akan berhenti mencintaimu."

Dengan ini, semuanya berakhir. Kami berpisah, tapi kali ini tanpa hadiah perpisahan.

•End•

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang