Bagian 5

183 18 0
                                    

Saat gelap menyapa, kau bagai pelita paling bercahaya.

⚠️ Mention of death ⚠️

Aku mengirimkan pesan pada Taehyung, dia sedang menuju kemari. Hujan sudah mulai turun, beruntung atap saung sudah diganti, jika tidak maka aku pasti sudah basah kuyup.
Saat kilat menyambar, samar-samar aku melihat kelomang tengah bersembunyi dibalik serabut kelapa. Aku jadi ingat, waktu kecil ayah sering mengajakku kemari, berlarian di bibir pantai, mencari kelomang, dan bintang laut.

Oh iya! Ayahku sangat pandai membangun istana pasir. Ayah bahkan bisa membentuk karakter kartun kesukaanku dulu. Kami bisa bermain sepanjang hari di sini, kemudian ibu akan memarahi kami. Sangat menyenangkan, kalau saja aku bisa memutar waktu.

Aku merindukan saat itu. Aku rindu ayah.

Ku pikir, hari itu adalah puncak dari kesedihan. Ayahku pergi, meninggalkan kami.

***

Subuh pagi tadi, ibuku tiba-tiba saja menjerit. Aku yang masih terjaga mengerjakan tugas kuliah segera berlari menghampiri. Ku lihat ibuku tengah menangis histeris, bersimpuh di samping ayah yang telah terkulai lemah di lantai.

Tidak ... Tidak. Aku mencoba mengecek denyut nadinya, tidak ada. Tidak, aku pasti salah, aku panik, pasti salah. Ku ulangi berkali-kali, masih sama. Tanganku bergetar, pandanganku kabur.

"Nak ayahmu terkena serangan jantung. Yang tabah ya? Kami bantu mengurus semuanya ...." Seseorang berkata sambil menepuk pelan pundaku.
Apa-apaan? Tidak! Ayah hanya sedang tidur! Aku meraung dalam hati, menyangkal fakta di depan mata.

Tetangga berdatangan, ibu masih menangis. "Mimpi sialan! Bangun! Cepat bangun Jimin!" Aku terus mencubit dan membukul tubuhku.

"Jimin ... Sayang, sudah! sudah!" Jungkook di sini, memelukku erat.

"Tidak Jungkook! Ayahku masih hidup! Katakan Jungkook! Cepat katakan, bedebah!" Aku berteriak, berusaha memberontak dari dekapannya.
Tidak ada yang mengerti perasaanku!

Jungkook mengeratkan pelukannya, mengusap pelan pundaku. Menggumamkan apapun untuk memenangkan, syukurlah itu berhasil. Aku sedikit lebih tenang walaupun dadaku masih begitu sakit, rasanya seperti ada pedang yang menghunus tepat di jantungku.

Pagi hari, pukul 07.15 ayah dikebumikan. Jungkook membantuku membaringkan ayah di tempat peristirahatan terakhirnya. Taehyung juga ikut membantu. Para tetangga dan kerabat pulang setelah mendoakan dan menyampaikan bela sungkawa. Hanya ada aku dan Jungkook. Ibu tidak ikut kemari, ibuku terlalu sedih, beliau bahkan beberapa kali tak sadarkan diri.

Aku bersimpuh di samping nisan ayah, dengan Jungkook di sampingku. Air mataku tak jua kering. Ini terlalu tiba-tiba dan sakit luar biasa.
Ayahku adalah segalanya, yang terhebat di dunia. Ayah, seseorang yang kuat dan pekerja keras, selalu mengusahakan yang terbaik untukku dan ibu. Ibu pernah cerita, seminggu sebelum kelahiranku, ayah di PHK. Terpaksa ayah harus menjual motornya dan bekerja serabutan agar bisa makan dan membiayai persalinan ibu. Entah harus bahagia atau merasa bersalah, karena sebelum dilahirkan pun ayah sudah begitu menyayangiku. Tapi di sisi lain, aku sudah sangat membebani mereka bahkan sebelum melihat dunia.

"Ayah ... Kenapa pergi? Kenapa meninggalkan Jimin? Apa karena rasa sayang Tuhan jauh lebih besar daripada Jimin? Tapi ayah, Jimin masih butuh ayah ...."

Jungkook masih setia menggenggam tanganku, bahkan sedari di rumah tadi. Aku tahu, dia ingin menyalurkan energi positif. Dia tak ingin aku merasa sendiri. "Sayang, aku juga sedih, tapi pasti kamu dan ibu jauh lebih sedih. Kalian pasti sangat kehilangan. Hari ini atau kapanpun itu, jika kau ingin menangis, menangislah sepuasmu sayang, bagi semua sakitmu denganku. Aku di sini, selalu di sini."

"Jungkook, kau sangat mirip dengan ayah."

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang