Kenangan yang Hilang

2 2 0
                                    

"Terbiasa menjadi orang yang kau cinta, membuatku lupa bagaimana caranya tertawa kala kita tak (lagi) bersama."

___@@@___

Varsha menatap ke luar jendela, tampak tanaman hias di balkon mulai mengering. Ia terlatih merawat apa yang dimiliki sendiri, sehingga tak ada siapa pun menyiram bunga-bunga tersebut. Sedih rasanya mengingat ia harus terbaring sakit selama beberapa hari dan tak bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Beruntung kini tubuhnya telah membaik.

Jari lentik itu menggeser pintu kaca dengan lembut. Varsha kembali pada dirinya yang ceria, seulas senyum bahkan terulas tatkala menyaksikan anggreknya bermekaran dengan indah, sampai tak sadar jika sang bunda telah berdiri di belakang.

"Sayang, kenapa tidak istirahat?" Anita mengambil cerek yang tadi digunakan untuk menyiram.

Varsha menatap ibunya. "Jika aku istirahat, siapa yang akan merawat mereka?"

"Ada banyak pembantu, biarkan mereka mengurus bungamu."

"Tidak, Bun." Gadis itu menggeleng. "Aku sendiri yang harus mengurusnya. Lagipula bunga-bunga ini yang akan menemaniku saat menikah nanti."

Senyum istri Malik lenyap seketika. Ia nyaris menitihkan air mata, tak kuasa memberitahukan kebenaran yang akan membuat hati putrinya remuk seketika. Alhasil, batinnya tersiksa oleh diam. Dalam keheningan tersebut, ia hanya bisa berharap jika semua yang telah dilalui hanyalah mimpi. Setidaknya itu akan lebih baik.

"Bunda, kenapa diam?" Varsha yang semula berjongkok pun berdiri.

"Ah, tidak. Sepertinya ada sesuatu yang masuk ke mataku." Anita berbalik, mengusap air yang menumpuk di sudut mata. "Udaranya mulai dingin, ayo masuk, Sayang."

Agak bingung, siapa pun tahu jika wanita beranak satu itu menyembunyikan beberapa hal, tetapi Varsha tetap bungkam. Ia melangkah dengan anggun sembari menggandeng tangan sang ibu. Mereka lantas duduk di tepi ranjang, kebersamaan tersebut amat jarang dirasakan.

Mereka tak tentu bicara setiap hari karena jadwal yang padat, tepatnya karena Anita selalu memiliki acara yang harus didatangi. Begitu pula dengan Malik, pria paruh baya tersebut sering wira-wiri ke luar kota. Bahkan saat ini pun, ia belum bisa menemani sang putri, tugasnya terlalu menumpuk untuk ditinggalkan.

Biarpun begitu, Varsha tiada berkecil hati, ia teramat bersyukur dengan keadaan sekarang, setidaknya sekarang dia dapat makan tiga kali bersama ibu tercinta setiap hari. Perhatian kecil seperti bantuan menyisir rambut bahkan didapat. Keduanya sadar jika momen seperti ini begitu langka dan berharga, khususnya bagi seseorang yang nyaris kehilangan anak.

"Kau bisa tidur sekarang," ucap Anita setelah memastikan rambut mitra bicaranya rapi.

"Terima kasih, Bunda."

"Untuk apa?"

Varsha tersenyum. "Semuanya. Aku sangat bersyukur, jika kemarin tak kecelakaan, mungkin sekarang kita sudah tidur di kamar masing-masing."

"Apa-apaan kalimat itu?" Istri Malik mengerutkan dahi. "Jaga kata-katamu, Sayang. Jantungku bisa berhenti kapan saja kalau kau sampai terluka. Pokoknya, apa pun yang terjadi ke depannya, kau harus kuat. Ingat saja, ada banyak orang yang menyayangimu, kau tidak akan pernah lagi sendiri."

Gadis berbaju putih itu tertawa kecil, berucap dengan penuh semangat. "Iya! Aku juga menyayangi kalian."

Sebuah kecupan di dahi mengakhiri percakapan singkat. Anita segera keluar agar sang putri bisa segera beristirahat. Namun, bukannya menutup mata, Varsha malah mencari ponselnya. Ia membuka laci, merosok bawah bantal, dan celingukan. Tak kunjung menemukan benda yang diinginkan.

Gadis tersebut berpikir, mungkin ponselnya terjatuh di suatu tempat dan itu bukanlah masalah. Ia bisa membeli yang baru kapan saja. Hanya tinggal menunggu mentari terbit, ia lega usai mendapat alasan untuk menginjakkan kaki ke luar rumah besok.

***

Pagi itu lumayan berisik. Derap langkah dari para pekerja memenuhi ruangan. Ada yang menyapu, ada yang mengelap perabot, dan ada yang membersihkan bingkai lukisan yang tergantung di tembok. Semua itu dilakukan, semata karena Anita tak menghendaki adanya debu. Ia menjadi protektif sejak sang dokter memintanya untuk lebih memperhatikan Varsha.

Lebih dari itu, ia bahkan menolak ajakan kumpul yang biasa diadakan bersama teman-teman elitnya setiap bulan. Ia tak lagi merasa sayang, jangankan sebuah pesta, ia bahkan bisa meninggalkan bisnisnya demi menjaga anak semata wayang.

Anita juga telah berjanji akan menemani Varsha berbelanja. Melakukan hal-hal menyenangkan juga dapat mempercepat kesembuhan. Oleh karena itu, ia bersiap untuk pergi, tak lupa mengajak dua orang pengawal yang akan memperhatikan dari jauh. Ia menghindari kemungkinan buruk bila tiba-tiba bertemu Adam yang statusnya buronan.

Masalahnya, alasan Varsha bersikeras ingin membeli ponsel, tak lain untuk menghubungi pria yang dianggap sebagai calon suami. Ia belum ingat kalau Adam nyaris merenggut nyawanya dan menjadi sedih kala nomor tersebut berada di luar jangkauan.

"Kau menelpon siapa?" tanya Anita usai memesan makanan, mereka mampir sejenak di restoran mal setelah asyik memborong barang.

"Adam, dia tidak keliatan. Dia bahkan tidak menjengukku. Apa terjadi sesuatu dengannya?"

Pertanyaan polos tersebut berhasil membuat Anita tersedak. Sorot matanya langsung berubah tajam, hampir emosi meledak. Untung saja ingat untuk tak berteriak. Baik dirinya maupun sang dokter, masih belum dapat menerka apa yang akan terjadi bila memori Varsha kembali. Satu yang mereka tahu, gadis malang itu pasti akan sangat terpukul. Tidak, gadis itu akan hancur untuk kedua kali.

Melodi Varsha: Hujan Terpikat SenyummuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang