4 - Keheningan

1K 81 1
                                    

Hari begitu terik. Tapi suasana di mobil Bian sebaliknya. Bahkan terasa sangat dingin dan hening.

Bian dan Reno baru saja dari rumah Oma nya yang tidak lain adalah ibu dari Rani.

"Reno, ayah sama kakak kamu berantem lagi?"

"Regan gamau sekolah, dan ga pernah keluar rumah. Kalaupun keluar Regan pasti ke makam ibu kamu"

Ucapan ucapan Omanya kembali teringat di benak Reno. Reno merasa sangat bersalah.

Bian menghentikan mobilnya. Ia berhenti tepat di samping gerbang pemakaman.

"Gue tunggu disini" ucap Bian memberi ruang pada Reno untuk bertemu sang kakak.

"Hm" balas Reno mengangguk.

Reno keluar dari mobil, baru ketika Reno akan menutup pintu mobil, terlihat Regan keluar dari gerbang pemakaman. Reno reflek menunduk bersembunyi dari pandangan Regan. Untungnya Regan berjalan ke arah berlawanan dari mobil Bian. Jadi Regan pasti tidak melihat.

"Gue mau ikutin kak Regan. Lo tunggu disini aja"

"Lo yakin?"

Reno mengangguk lalu berlalu meninggalkan Bian. Reno berjalan pelan agak jauh dari Regan. Tapi sepertinya Regan sedang melamun.

Badan tegap tak didepannya itu dulu pernah menjadi pelindung yang akan selalu memeluk Reno ketika sakitnya berulah. Tinggi Reno dan Regan tidak berbeda jauh. Mereka termasuk memiliki badan yang ideal dan bagus turunan ayahnya.

Dulu punggung itu pernah menjadi punggung ternyaman ketika Regan menggendong Reno. Tapi sekarang Reno hanya dapat melihat nya dari belakang berjalan menjauhinya.

Bisakah waktu terulang?

Reno hanya ingin mereka berdua tak tahu kenyataan apapun.

Jika mereka dulu tidak menemukan kenyataan mungkin semua akan baik baik saja sekarang.

Mungkin.

Regan tak akan sesakit seperti yang Reno lihat hari ini.

Bagi mereka, seorang anak tak butuh mengetahui fakta dan alasan orang dewasa. Bagi mereka seorang anak hanya butuh kasih sayang orang tua nya.

Tak peduli walau Reno hanya dilahirkan untuk menyelamatkan Regan dulu. Baginya ia tetap bahagia jika mereka bertiga yang tersisa bisa saling menyayangi dan tertawa bersama kembali.

Tak peduli walau Regan bukan anak kandung Rani. Bagi Regan ia tetap bahagia karena memiliki ibu seperti Rani yang menyayanginya.

Untuk apa kenyataan. Jika hanya membuat keluarga ini hancur.

Untuk apa mereka tau kebenaran jika hanya membuat pertengkaran, saling mengungkit, berdebat dan menyalahkan.

Bagi mereka yang sudah terlanjur terluka. Semua itu tak penting lagi.

"Dek awaaaaas!!" Teriak seorang bapak bapak tukang bagunan yang melihat batako di bangunan yang belum jadi itu akan jatuh.

Reno membulatkan matanya, ia pun akhirnya menyadari hal itu. Reno berjalan jauh dari Regan. Hatinya berdesir. Bagaimana caranya menarik kakaknya.

Reno mempercepat jalannya.

"Jangan Tuhan.. please.." gumam Reno semakin mempercepat langkahnya.

Deg.

BRAKKKK

Langkah Reno terhenti. Ia memegang dadanya yang tak bisa diajak kompromi. Matanya sudah basah.

Reno melihat dengan jelas. Batako putih itu hancur sempurna di aspal. Dan Regan pun jatuh terduduk di aspal.

Reno melangkah lambat mendekat. Darah segar mengalir begitu saja di belakang telinga hingga ke leher Regan.

SAYAP PATAH : Reno untuk Regan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang