AldeNara 9

44 17 56
                                    

Hari semakin larut, namun suasana gedung tua itu semakin ramai.
Alden Sergio Abiyasa, atau yang kerap disapa Alden itu memasukkan ponselnya ke dalam saku celana setelah selesai menghubungi Galang.

Galang dalam perjalanan ke sini, namun motornya tiba-tiba mogok. "Gue samperin Galang dulu, motornya mogok."

"Mogok di daerah mana, Den?" pertanyaan keluar dari mulut Bram.

"Dia bilang samperin di warung Tante aja."

Gama memberikan kunci mobilnya pada Alden. "Nih pake mobil gue aja Den."

Alden menggeleng. "Gak usah, ribet."

Setelah selesai mengenakan jaket Sefragos miliknya, Ia segera keluar dari gedung tua itu.

*****

"Bun, Galang-nya ke mana?" tanya Nara, dengan tangan yang sibuk membolak-balikan majalah milik Riana.

Riana yang sama sibuknya, menoleh. "Baru keluar, izin main sama temennya. Oh iya, dia bilang kamu cari Bunda? Ada apa, sayang?"

Nara menutup majalah, lalu bergerak mengubah posisinya menghadap Riana. "Nara ditolak, Bun."

"Dari awal emang harusnya aku gak jujur ke dia soal perasaanku, toh dia juga gak pernah peduli. Cuma tadi, dia minta aku buat ngulangin pesan yang ku kirim ke dia. Dan ya, langsung ditolak," lanjut Nara, mengerti wajah penuh tanya Riana.

Riana menggeser duduknya agar semakin mendekat, lalu memeluk tubuh Nara dari samping. "Kamu menyesal udah jujur, sayang?"

Nara diam, larut dalam pikirannya. Menyesal? Ia sama sekali tidak menyesal, hanya saja dari awal ia memang belum siap menerima jawaban Alden.

Nara menggeleng. "Nggak Bun, Nara sama sekali gak nyesel. Cuma sakit sama ekspektasi sendiri aja."

Riana menepuk pundak Nara, lalu tangannya beralih mengusap puncak kepala gadis itu. "Bagus, gak ada yang perlu disesali dari jujur, sayang. Saat ini kamu mungkin kecewa, gak apa-apa, kecewa itu wajar. Seenggaknya ada sedikit kemajuan, kamu udah jujur sama dia soal perasaan kamu."

Nara mengangguk. "Alden bolehin aku buat berjuang lagi, Bun."

"Manfaatkan kesempatan itu, tapi ingat ya, kamu gak boleh paksa dia buat suka balik sama kamu, semangat sayang!"

Nara melebarkan senyumnya, semangat untuk memperjuangkan cintanya pada Alden semakin membara, mungkin hari ini ia tertolak, namun dapat ia pastikan, Alden akan luluh padanya. Bukan sekarang, mungkin nanti.

Nara kembali membuka majalah, lalu menunjuk salah satu dress. "Bun, ini cantik kok."

Riana menatap dress yang ditunjuk Nara, lalu mengangguk. "Tadi Bunda udah liat, dan langsung ingat kamu makanya Bunda suruh pilih lagi, gak salah deh selera kamu."

Nara salah tingkah sendiri mendengarnya, Riana memang tadi memintanya memilih dress dari majalah butiknya sendiri, yang entah Nara pun tak tau untuk apa.

Bagi Nara, Riana sudah seperti Bunda-nya sendiri. Riana baik, sangat baik. Selama ini ialah yang membantu Nara merasakan kasih sayang seorang Ibu.

Riana tau jelas apa yang Nara suka ataupun tidak, Riana benar-benar sosok Ibu pengganti baginya.

Beruntung Galang memiliki sifat seperti Riana, meskipun sedikit galak dan menyebalkan, Nara tau jika Galang benar-benar memperhatikannya layaknya adik sendiri.

"Nara, kalau gak ada Bunda, cerita ke Galang gak masalah kok. Nara tau kan, Galang walaupun nyebelin, dia pendengar yang baik."

Nara mengangguk, memang telah banyak hal ia ceritakan pada Galang, kecuali soal perasaannya pada Alden. Menurutnya, menceritakannya pada Galang adalah hal yang salah, karena bisa saja ia iseng membocorkannya pada Alden.

Tapi untuk sekarang, Nara rasa cerita pada Galang bukan hal yang salah. Toh Alden juga sudah tau semuanya.

"Bunda, ini emang dressnya untuk apa?" tanya Nara, dengan mata masih terpaku pada dress biru muda di majalah itu.

"Buat kamu, sama Galang. Liat deh, yang ini buat Galang, cocok ya?" Riana menunjuk setelan kemeja di majalah yang dipegangnya.

Nara jelas mengernyit mendengarnya. "Hah, buat aku sama Galang?"

Riana mengangguk, dengan senyum merekah. "Minggu depan Bunda buka cabang baru di daerah sekolah kalian, Galang belum cerita ya sama kamu?"

Nara yang mendengar itu, ikut mengembangkan senyumnya. "Wah, selamat Bunda. Nara ikut seneng dengernya! Tapi Galang emang gak ngomong apa-apa sama Nara."

Riana menghela napas, anaknya ini memang menyebalkan, padahal waktu itu Riana semangat mengajaknya dan Nara untuk pergi ke acara pembukaan butiknya. "Udah gak heran lagi Bunda, oh ya, berarti bisa dong ya, minggu depan kamu ke opening butik Bunda?"

Nara mengangguk. "Tentu bisa, Bunda."

Nara menatap jam dinding di ruangan itu. "Udah malam, Bunda pasti juga capek. Nara pamit pulang ya? Makasih udah mau dengerin cerita Nara."

Riana mengangguk, sekali lagi mengelus puncak kepala Nara. "Sama-sama sayang, datang ke sini kapan pun kamu butuh."

Nara melebarkan senyumnya, lalu memeluk Riana. "Makasih sekali lagi, Bunda."

*****

Galang menendang ban motornya, kesal karena kendaraan roda dua miliknya ini tak kunjung nyala. Malam ini terpaksa Ia mendorong motornya ke warung Tante, meskipun lumayan jauh dari tempatnya berdiri tadi, yang penting Alden cepat menemukannya.

Galang mengernyit, karena saat sampai di sana, ia menemukan Alden duduk dengan seorang perempuan, Galang tau jelas itu siapa.

"Den, lo dari tadi?" tanya Galang, basa-basi.

Alden menggeleng, lalu cepat-cepat bangkit, terlihat tak nyaman dengan keberadaan gadis di depannya. "Dah kan? Ayo cabut."

Galang menatap Maudy, lalu mengangkat satu tangannya. "Eh Dy, lo ngapain di sini?"

Maudy, gadis itu memutar bola matanya malas. Lalu dalam beberapa detik, kembali mengubah ekspresi wajahnya menjadi menyedihkan saat Alden menatapnya. "Ban mobil gue bocor, gue kira kalian ada di sini, makanya gue ke sini. Ternyata kosong, untung gak lama Alden dateng, jodoh banget gak sih?"

Alden mengernyit, berusaha mengabaikan Maudy yang terus menggodanya.

"Dah malem Dy, mending balik. Di sini gak aman," ucap Galang, jujur ia tak ingin basa-basi seperti ini, namun melihat Alden yang tak acuh pada Maudy membuatnya sedikit kasian.

"Gimana mau balik, mobil gue kan di bengkel. Alden, lo mau antar gue gak? Lo gak kasian sama gue?"

Alden diam sejenak, lalu menggeleng. "Gak bisa Dy, gue harus pergi sama Galang sekarang. Lo bukannya punya banyak mobil? Suruh sopir lo jemput."

Maudy yang mendengar itu, berteriak dalam hati. Sial, apakah wajah menyedihkannya benar-benar tak mempan bagi Alden?

Maudy menatap Galang, meminta cowok itu mengalah lewat tatapan matanya.

"Gue sama Galang ada urusan penting Dy, ini aja gue dah telat banget, kasian yang lain nunggu," ucap Galang, Maudy hanya bisa mengerucutkan bibir mendengarnya.

Alden yang sudah lelah, naik ke motornya. "Minta temen lo jemput, kita beneran gak bisa nolong lo sekarang."

Galang ikut naik, membuat Maudy cepat-cepat bangkit dari duduknya. "Ih, lo serius gak mau nolong gue?"

"Bukan gak mau, tapi gak bisa," jawab Alden, lalu tanpa basa-basi lagi menjalankan motornya.

Galang tertawa, lalu melambaikan tangannya pada Maudy. "Awas Dy, di sini banyak kunti."

Maudy mengepalkan tinjunya di udara. Sial, lagi-lagi rencananya gagal. Alden ternyata memang sulit membuka hatinya untuk gadis sempurna seperti Maudy.

*****

TBC.

Hai, gimana part ini?

Mau spam next-nya donggg👉

Makasih buat yg gak bosen kasih bintang+spam komen <3

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 23, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AldeNaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang