1. The Ultimatum

2.7K 558 117
                                    

Holla, saya mulai update Sweet and Tears.
Happy baca, ya.

Warning dulu ya; kalau Nemu typo atau kata-kata yang ambigu, itu gegara keyboardnya Kachan lagi rada sengklek. Contohnya, ngetiknya tadi, jadi tapi. Ngetik kali, jadi kebun. (ngakak 🤣🤣)
Padahal udah benar Ngetiknya, tapi ngubah sendiri pas dienter, udah diteliti sebelum publish, cuma ya, namanya manusia, bukan malaikat, ada aja yang ketinggalan. Wkwkwk.
Dahlah, happy baca ❤️
.
.
.

Aluna memutuskan keluar dari kamar akibat disergap rasa cemas. Tujuannya tak lain ingin menemui Barra di ruang pribadi lelaki itu. Tidak bisa dibiarkan, sejak ultimatum mama usai makan malam tadi, Aluna terus terbayang kata-kata mamanya itu. Sejak tadi menyimpan banyak kalimat yang ingin diucapkan, tapi tertahan karena ceramah mama menghabiskan waktu lebih dari dua jam. Usai masing-masing menandaskan makanan dalam piring, Mama menggiringnya dan Barra ke ruang tengah. Mendudukkan kedua anaknya di sofa ruang tengah- tempat yang biasa digunakan untuk duduk santai atau menonton televisi. And, bla-bla-bla, endebra ... endebre ... dan kalimat terakhir mama adalah ; Keputusan mama sudah final, mama ingin Barra sama Aluna nikah saja secepatnya.

Aluna sayang mama, demi Allah, kalau ditanya siapa orang yang paling berarti dalam hidupnya, selain almarhum ibu, dia tidak akan segan menjawab orang itu adalah Mama Hastari. Namun, keputusan sepihak mama tadi membuat gadis bermata bundar itu merasa agak syok. Rasa kagetnya lebih menegangkan daripada kena prank oleh Wita- temannya saat ulang tahun ke dua puluh empat sebulan lalu.

"Terima ya, keputusan mama, semua buat kebaikan kalian." Itu adalah preambule mama disertai tatapan menyelidik gantian pada Aluna dan Barra. Keduanya anaknya hanya bisa bergeming, larut dalam pikiran mereka masing-masing.

"Barra, sekarang jujur sama Mama, sejak kapan kamu suka sama Aluna?" cecar Mama, kali ini tatapannya fokus pada sang putra.

Alih-alih menjawab, Barra malah tertawa kering-sampai satu ketukan mendarat tepat di kepala lelaki itu dari tangan mama yang memukulnya pelan menggunakan penggaris, "Kalau diajak bicara orangtua yang serius, Barra Wisnu Pradipta!" hardik mama.

Barra kicep seketika. Kalau mama  sudah memanggil  anaknya dengan nama lengkap, itu pertanda dunia sedang tidak baik-baik saja-ah-maksudnya mama sedang marah. Barra melepas satu embusan napas disertai ekspresi meringis sambil mengusap-ngusap kepala yang disambangi penggaris.

"Mama, jangan salah paham. Barra enggak mungkin suka sama Kendedes. Jadi, mana mungkin Barra nikah sama dia, Ma," elak Barra mencoba memberi pengertian mamanya.

Hastari tertawa miring, "Enggak suka? Tapi demen banget mesumin adik kamu?!"

Skakmat!

Tangan Barra bergerak-gerak ke udara, seolah sebagai tanda kalau yang ditebak mamanya itu tidak benar.

"Pernah cium Aluna, lalu apa lagi, Bar? Jujur sama Mama!" Nada bicara Hastari sengaja dibuat terdengar tendensius agar putranya itu mau mengakui jujur.

Di sisi Barra, Aluna lebih memilih diam. Daripada takut salah bicara, mendingan mode silent dulu. Tangannya sibuk memilin-milin sarung bantal sofa - yang terdapat hiasan macrame di bagian tengahnya. Barra menoleh Aluna. Seolah minta dukungan kalau tebakan mama memang tidak benar.

"Ken, bilang ke Mama kalau semuanya enggak benar, jangan diam aja, Lo!" Barra menyenggol lengan adiknya. Matanya melirik heran, ke mana perginya Aluna yang selalu cerewet dan suka ngatur. Kenapa sekarang malah kicep, udah kayak habis nyemil aibon.  Dasar cewe, suka banget labil! Desis Barra dalam hati.

"Barra!"

Barra mendongak, memandang mamanya disertai cengiran- seraya salah satu tangannya memulas tengkuk. Kikuk. Hastari memang selalu tidak suka saat Barra memanggil Aluna dengan sebutan lo-gue. Kesannya kasar kata mamanya itu.

Sweet and Tears (TAMAT-PINDAH KE KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang