Holla, happy baca ya.
Tolong tandain kalau ada typo.
Maacih
.
.
.Barra melangkah pelan dari carport menuju rumah. Dia perhatikan lampu utama ruang tamu masih menyala terang, mata lelaki itu melirik jam tangan sekilas, pukul sebelas malam, biasanya yang masih terjaga jam segini cuma Aluna.
Menuntaskan lembur sampai jam sepuluh malam, dalam perjalanan pulang Barra mampir ke kafe sebentar untuk menikmati secangkir kopi, baru setelahnya menuju rumah.
Tangan lelaki itu menekan handel pintu disertai salam. Pemandangan pertama yang menyambutnya adalah Aluna - yang tengah duduk di sofa dengan lembaran kertas di tangan. Adiknya itu membalas salamnya tanpa mengalihkan fokus dari kertas-kertas.
Barra mengempas tubuh di sisi Aluna, sampai membuat gadis itu berjengit dan menghindar.
"Kak, jauh-jauh, kamu bau keringat!" protes Aluna, jari telunjuknya menutup lubang hidung seolah mempertegas kalau dia terganggu oleh ulah Barra.
"Enak aja, masih wangi, kok!" Barra mengendus-endus sisi kemejanya yang agak basah oleh keringat. Melihat Aluna menghindar, otak jailnya kembali bereaksi. Lelaki itu malah merapat ke sisi Aluna, tanpa ba-bi-bu mendekap sang adik dari samping. Aluna refleks teriak. Dasar Barra, kalau sehari saja absent menjaili Aluna, rasanya ada yang kurang di hidupnya.
Masih berada dalam apitan tangan kekar kakaknya, Aluna memberontak sembari gigiti lengan Barra. Sumpah, hak kayak gini yang paling bikin sensi Aluna. Apa Barra pikir keadaan masih sama kayak lima belas tahun lalu? Kalau dulu adegan begini bagi Aluna biasa saja, karena yang dia tangkap dari kejailan kakaknya adalah sebuah rasa gemas dan sayang kakak ke adiknya. Namun sekarang? Usainya dan Barra bukan lagi anak-anak atau remaja. Barra sudah mau 33 tahun, dan Aluna baru merayakan ulang tahun ke 24 sebulan lalu.
"Lepas, Kak Barra bau keringet!"
"Ngomong bau lagi, enggak bakal gue lepas." Barra mengancam lalu derai tawanya menguar, sampai tidak sadar suara gaduh yang diciptakan sepasang adik-kakak selisih sembilan tahun itu membuat Hastari kaget dan terbangun.
Saat Barra menoleh ke arah ruang tengah, mamanya sudah berdiri persis di dekat partisi penyekat ruang tamu. Barra refleks melepas kaitan tangannya, Aluna kaget saat matanya berserobok dengan manik mamanya, sampai tak sengaja mendorong Barra cukup keras.
"Mama, Kak Barra yang usil, dia yang peluk-peluk duluan." Adu Aluna agak takut kalau mama bakal marah kayak waktu itu.
Hastari bergeming, tapi kakinya melangkah ke sofa, lalu duduk di sebelah Aluna. Mata tuanya menatap si putra dan putri bergantian. Aluna yang duduk persis di sebelah mama, melirik sekilas, mencoba menakar ekspresi di wajah mama yang kali ini terlihat datar.
"Ma, jangan marah, becandaan doang, gemes sama si Ken." Barra menukas. Lelaki itu duduk di sofa tunggal yang ada di seberang Aluna dan mama.
Aluna membeo, matanya mendelik pada Barra seolah ingin mengatakan; emang ya aku bayi, apa?! Jangan gemes sama aku! --tapi hanya berkata dalam hati.
"Kalian ini ya, yang satu udah bujang, hampir lapuk, yang satu lagi udah gadis, menginjak dewasa, tapi kalau ribut ngalah-ngalahin kayak kucing lagi gelud. Udah, cocoknya emang dikawinin aja kalian berdua, biar enggak ribut terus."
Barra merapal istighfar mendengar statement mama, "Astaghfirullah, nikah Ma, nikah, kawinnya entaran kalau udah sah."
Tawa mama berderai seraya acungkan jempol ke arah putranya. "Jadi udah siap, Bar, kalau gitu mama majuin aja tanggal pernikahan kalian, gimana?" Lanjut mama membuat Aluna mendelik seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet and Tears (TAMAT-PINDAH KE KARYAKARSA)
RomanceAwas baper⚠️ Di mata Barra, Keneisha Aluna adalah adik yang manis. Lelaki tiga puluh tiga tahun itu tak pernah bosan menjaili Aluna yang suka dia panggil Kendedes. Sementara bagi Keneisha Aluna, Barra Wisnu Pradipta tak lebih dari seorang kakak. Ka...