12. Saya Calon Istrinya!

1.6K 457 130
                                    

"Mari mencoba saling jatuh cinta ..."
Barra tidak tahu, dapat suntikan keberanian dari mana sampai bisa kelepasan mengatakan hal demikian pada Aluna.

Kalau dipikir-pikir, lucu memang. Barra merasa termakan karmanya sendiri. Dulu, saat Aluna masih kecil, dia kerapkali mencandai, nanti kalau Una besar, jangan menikah sama laki-laki lain, sama Kakak saja. Agaknya secara tidak sadar kemungkinan omongan sebatas candaan menjadi doa tak terucap yang didengar malaikat. Barra harus waspada, karena bisa jadi omongannya dikabul oleh Allah.

Laki-laki yang mengenakan jas biru gelap itu  mengalihkan pandangan. Menatap Aluna dari jarak dekat, tanpa dikomando rasa deg-degan bertamu tanpa permisi. Sepertinya Barra baru memercayai sebuah kalimat; Tuhan Maha Membolak-balikkan perasaan setiap hamba.

Kemarin biasa saja saat berada di dekat Aluna, kenapa sekarang harus dirangkul rasa salah tingkah. Sebagai laki-laki yang hampir tak pernah dekat dengan perempuan lain, Aluna seorang yang mengisi hari-hari Barra dari dewasa muda sampai menjadi dewasa seutuhnya. Usia delapan belas tahun Barra kehilangan sosok sang ayah yang telah berpulang, satu pukulan telak menghampiri. Di saat teman sebaya sibuk bermain romansa dengan lawan jenis, Barra Wisnu sibuk mengajar cita-cita. Waktunya digunakan untuk belajar agar bisa lulus tepat waktu. Sukur-sukur mendapat predikat cumlaude - yang bisa membanggakan mama.

Lepas wisuda strata satu, mama langsung mengirimnya ke luar negeri untuk melanjutkan S2-nya. Walau saat itu Barra menolak, tapi mamanya beragumen, sayang jika Barra menyia-nyiakan kesempatan beasiswa. Tidak semua orang mendapat kesempatan bagus.

"Ken, gimana?" Tanyanya mencuat, tidak sabar menanti reaksi Aluna.

Sementara, Aluna menegang di tempat. Otaknya mendadak mode born out. Apa pendengarannya yang bermasalah? Ataukah, Barra Wisnu yang sudah gila atas ucapannya barusan? Alih-alih menjawab, Aluna malah menguarkan tawa kering.

"Hahahaa ...." Tawa keringnya melesat tanggapi ungkapan Barra. Aluna menggeleng-geleng sebagai reaksinya, baru merapal jawaban bagi Barra,. "Kak Barra gila!"

Mengajak saling jatuh cinta? Aluna pikir itu adalah kata-kata paling konyol yang dia dengar sepanjang hidup.
Dalam otaknya sibuk menadahi tanya; gimana bisa antar saudara saling jatuh cinta?
Ya, walau dia dan Barra bukan saudara kandung--yang berarti tidak ada ikatan darah, tetap saja rasanya aneh. Sudah terbiasa bersama sebagai adik-kakak, rasa berkasih-sayang layaknya persaudaraan lebih mendominasi batin Aluna, lalu, gimana bisa tumbuh rasa cinta?

Barra memulas tengkuk. Lelaki itu memejam sebentar, sebelum akhirnya membuka mata, menatap Aluna lagi.

"Jadi, kesimpulannya Una enggak mau?"

"Enggak!" jawab Aluna tanpa berpikir panjang.

Dua jempol Barra mengacung. Senyumnya tercetak tipis di antara rahang kokohnya.

"Sip! Udah Kakak rekam, nanti tinggal kasih dengar ke mama, biar mama tahu sendiri kalau Una menolak. Kalau Kakak sih, oke-oke aja." Wajahnya menyirat jail saat berucap.

Aluna menganga. Memang dasar! Bukan Barra namanya kalau enggak memantik rasa kesalnya. Laki-laki satu itu benar-benar ujian besar baginya.

"Kak Barra kok culas!" hardiknya dengan raut kesal.

Bisa-bisanya tanpa Aluna tahu lelaki di sebelahnya itu telah mengaktifkan mode recorder pada ponsel pintar miliknya--merekam semua obrolan yang baru saja terjadi. Dia pikir Barra mengatakannya secara sungguhan dari hati. Nyatanya hanya iseng dan sengaja menjebak.

Tawa Barra berderai. Tidak kok, soal rekaman itu hanya alibinya mengalihkan rasa gugup akibat menanti jawaban Aluna.

"Hapus, Kak!" Seruan Aluna ditanggapi dengan gelengan. Rasa sebal menjangkau ubun-ubun Aluna, dia raih paksa ponsel kakaknya yang tersimpan pada saku jas. Barra sampai terkesiap oleh polah Aluna.

Sweet and Tears (TAMAT-PINDAH KE KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang