Holla, rindu, tak?
Happy baca
Sorry for typo
.
.
."Saya calon istrinya Kak Barra ..."
Aluna melepas embusan napas usai berkata-kata. Tidak menyangka bisa bisa berani mengatakan kalau dia calon istri Barra di depan perempuan bernama Kamela itu.
Sebenarnya sudah dongkol sejak di mobil- sewaktu Barra menerima telpon dari Kamela. Kenapa enggak mencoba ikhtiar duluan, dengan membawa anaknya yang sakit ke klinik terdekat misalnya. Kenapa harus menunggu kedatangan Barra dulu baru bertindak. Bukannya keselamatan anak lebih utama bagi seorang ibu?
Ya memang, Aluna belum merasakan jadi seorang ibu, tapi sebagai perempuan yang hidup di era modern, tidak akan susah menjangkau fasilitas kesehatan untuk berobat, kan?Kekesalan kedua, saat matanya memindai Kamela tanpa ba-bi-bu langsung menubruk raga Barra, memeluk lelaki itu tanpa rasa sungkan. Aluna yang dekat hampir separuh hidup, tinggal seatap saja belum pernah berani terang-terangan gelendotan di lengan si angkat, tapi dia--Kamela, malah jauh lebih berani dari dugaan Aluna.
Barra menoleh speechless. Kupingnya tidak salah dengar, kan? Barusan Aluna ngaku-ngaku sebagai calon istri, apa itu artinya si adik angkat secara tidak langsung telah mengabuli permintaan mama mereka?
"Apa Ken? Coba bilang sekali lagi."
"Jadi karena ini Mas Barra enggak ngasih aku jawaban kemarin?" Kamela menukas.
Ketiga manusia itu saling pandang, saling lirik, Barra ingin menjawabi tanya Mela, tapi bersamaan suara tangis Ara melengking mengalihkan fokus semua orang.
"Lebih baik cepat dibawa ke rumah sakit, kasihan anaknya, Kak!" cetus Aluna. Barra mengangguk, Mela lebih dulu melangkah, menjangkau Ara yang tengah berbaring di kamar utama.
Satu mobil, tiga orang dewasa, satu anak kecil. Barra di seat kemudi, persis di sebelahnya ada Kamela seraya memangku Ara, sementara Aluna di bangku tengah.
Ada sedikit momen lucu bercampur awkward, saat Barra membuka pintu depan, Aluna dan Kamela bersamaan hendak melangkah naik, memutar bola mata, sebal, Aluna mengalah duduk di seat tengah."Mel, apa tidak sebaiknya di belakang saja, biar kaki Ara bisa selonjoran, enggak ditekuk gini." Instruksi Barra digelengi Kamela.
"Di sini saja, Mas, Ara biasanya duduk dekat kamu," kukuh Mela tak ingin beranjak.
Barra mengangguk samar. Kadang merasa sedikit sebal dengan tingkah bebal Mela. Seperti kemarin saat mereka jalan ke mal, dia sudah peringatkan agar Ara dipakai-kan jaket, tapi Mela kukuh, katanya Ara gampang gerah. Alhasil sekarang badan bocah tiga tahun itu diserang demam. Rintihan Ara terdengar sepanjang perjalanan.
"Ara tahan ya, Sayang, sebentar lagi kita sampai rumah sakit." Mela coba menenangkan buah hatinya yang terus merengek. Wajah Ara memerah, antara menahan sakit serta menangis.
Barra menoleh Mela, matanya menyirat khawatir pada di gadis kecil dalam pangkuan ibunya, sejak tadi penasaran akan satu hal, "Memangnya Ara demam dari kapan, Mel?"
"Udah dari kemarin siang, Mas." Mela menjawab dibarengi wajah sendu. Matanya berlapis kaca saat berucap.
"Kenapa enggak langsung dibawa ke dokter, Mel?" Barra agak menyayangkan kenapa Mela tidak mengambil inisiatif membawa Ara ke klinik terdekat.
Gelengan Kamela mencuat. "Nunggu kamu, biar ada yang nganter," sahutnya enteng.
Decakan pendek menguar dari mulut Barra mendengar jawaban Mela. Kepalanya menggeleng samar. Untuk urusan satu itu, aslinya agak sedikit geram pada dirinya sendiri. Bisa jadi Kamela terlalu bergantung padanya, karena dia sendiri yang tak memberi celah untuk perempuan itu berusaha berdiri di atas kakinya sendiri. Terlalu ngemong, sampai yang dijaganya merasa tidak bisa berbuat apa-apa tanpa ada dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet and Tears (TAMAT-PINDAH KE KARYAKARSA)
RomanceAwas baper⚠️ Di mata Barra, Keneisha Aluna adalah adik yang manis. Lelaki tiga puluh tiga tahun itu tak pernah bosan menjaili Aluna yang suka dia panggil Kendedes. Sementara bagi Keneisha Aluna, Barra Wisnu Pradipta tak lebih dari seorang kakak. Ka...