7. Be a Wise!

1.3K 389 104
                                    

Happy baca ❤️
Sorry for typo
.
.
.

Aluna menatap Barra sepersekian detik. Usai geming, sudut bibirnya tertarik, tawanya melengking kering. Masih belum memercayai tentang keputusan Barra untuk menerima permintaan mama. Padahal dalam angan gadis itu sudah terancang banyak ide- kalau nanti akan mengajak kerjasama kakaknya itu agar bisa menghindari keinginan mama mereka. Semuanya ambyar detik ini juga. Setelah mendengar pilihan Barra Wisnu, Aluna merasa tak bisa berkutik.

"Kakak bicara serius, Aluna. Sekali ini saja, tolong dengarkan." Barra mendesah gusar mendapati reaksi Aluna. "Pikirkan tentang mama, Ken, sekali saja, tolong jangan egois," lanjut lelaki itu menatap lekat sang adik.

Aluna menoleh Barra. Matanya membola mendapati kata-kata egois yang Barra sematkan untuknya. Apa segitu buruknya dia di mata Barra Wisnu, kenapa seolah yang melintasi otak lelaki itu tentangnya hanya prasangka buruk terus.

"Egois Kakak bilang? Maksudnya apa bilang kayak gitu?" sengit Aluna.

Barra menggeleng pelan. "Jangan emosian, dengarkan dulu kalau ada orang bicara. Jangan apa-apa ditanggapi pakai urat, Ken," cetusnya.

Suasana hati Aluna makin porak-poranda mendengar statement Barra.

"Please, be a wise. Lo bukan lagi anak kecil atau remaja labil, Aluna."

Aluna muntab. Kata-kata Barra dirasa sangat keterlaluan. Kenapa hanya dia yang selalu disudutkan. Dikira gampang apa, menjalani sesuatu yang udah terbiasa, lalu diubah jadi kebiasaan baru. Tidak semudah membalik telapak tangan. Tidak juga selancar bacotannya Barra saat menekannya seperti sekarang ini.

Aluna tersenyum miring.
"Terus aja Kak, absen semua hal buruk tentang aku di mata Kak Barra. Aku rese, enggak tahu diri, egois, enggak bijaksana, apa, apa lagi? Anak enggak tahu diuntung."

"Aluna!"

"Apa?!"  Mulut Aluna membentuk garis keras saat jawabi sentakan Barra. Diam-diam ada rasa nyeri berdenyut di dalam hati. Selama tinggal bersama, baru kali ini Aluna mendapati Barra membentaknya lumayan keras. Perlahan tapi pasti ada cairan bening merembes basahi kedua pipinya. Sakit, tapi tak berdarah.

Barra mengatupkan mata. Urat-urat di lehernya tercetak jelas, menunjukkan kalau lelaki itu berusaha menekan gumpalan emosi yang siap meledak. Mengernyitkan wajah adalah reaksi yang dipilih saat matanya terbuka kembali, ada tamparan rasa bersalah mendapati wajah Aluna berhias lelehan air.

"Maafin Kakak," ucapnya ingin menyentuh tangan Aluna, tapi ditepis cepat sang adik.

Barra tak mau kalah. Saat Aluna lengah, tangannya menarik raga gadis itu, memeluknya erat sampai adiknya itu tak bisa lagi berkutik.

"Maaf," ucap Barra tulus. Aluna masih bergeming. Hanya terdengar isakan serta susutan hidungnya yang basah sesekali.

"Jujur, Kakak juga bingung, beberapa hari ini enggak bisa tidur nyenyak, sejak mama mengambil keputusan buat kita. Kerja enggak bisa fokus, banyak urusan yang tertunda karena mikirin gimana caranya menghindar dari keinginan mama." Barra jeda ucapan. Aluna diam tapi kupingnya mendengarkan setiap tutur lelaki itu.
Perlahan perasaannya mulai disergap rasa nyaman, apalagi saat merasai usapan lembut tangan Barra di punggungnya.

"Tadinya, Kakak berpikir ingin mengelak, tapi setelah bicara dari hati ke hati sama mama, Kakak putuskan buat menerima dan menjalani semuanya." Masih berlanjut monolog Barra. "Kakak mau nikah sama Aluna, enggak masalah, kan, toh kita sudah terbiasa hidup sama-sama," aku Barra selanjutnya.

Aluna tidak tahu, kenapa mendadak debaran jantung berasa tak keruan mendengar kalimat terakhir Barra barusan. Aneh. Dia lepas kaitan tangan di pinggang Barra. Mengusap wajahnya yang masih sisahkan bekas aliran airmata, lalu mendongak, menatap Barra.

Sweet and Tears (TAMAT-PINDAH KE KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang