15 : OMELAN GIO

300 44 15
                                    

"Yo, lo tahu entar Nanta camping di daerah mana?"

Mendengar pertanyaan itu Gio hanya mendengkus, cowok dengan kaus hitam itu tanpa berminat menggubris pertanyaan dari seseorang yang hampir sekarat di sampingnya.

Lihat? Wajah pucat, untuk berbicara saja dengan mata yang terpejam, dan hoodie yang selalu Gio kenakan kini terpaksa melekat di tubuh abang pertamanya itu, Rean.

"Yo," panggil Rean lagi, begitu tidak ada jawaban.

"Lo bahkan nggak mau biayakan kegiatannya. Kenapa ikut campur?" ucap Gio langsung, fokus pada kemudi di tangan. Jalanan kota masih saja macet, padahal dugaannya mengatakan, kendaraan akan sedikit berkurang di saat jam pertengahan orang melakukan rutinitas pagi. Ternyata, sama saja.

Tidak ingin memperpanjang urusan, Rean mengembus napas panjang. "Gue mau tau. Gue abangnya."

Gio mendesis. Untuk pertama kalinya ia mengakui benci mengendarai mobil ini, tidak ada yang masalah dengan kendaraannya, tetapi penumpang inilah menjadi masalah. Hanya terjebak berdua, tanpa ada Dikta ataupun Nanta yang menjadi penengah.

"Tanya sama Nanta, jangan sama gue," jawab Gio akhirnya, lau diam-diam melirik saat berapa menit terus berlalu, terjebak di jalanan lampu lalu lintas dan membuat Gio sesekali berharap cemas agar seseorang di sampingnya tidak tertidur sekarang. "Bang, lo masih hidup?"

"Hm," gumam Rean, enggak bersuara.

Gio mengusap dada, setengah menyandarkan punggung dengan lega. "Lo lagian kenapa harus maksain diri? Lihat, akhirnya jadi gini?"

"Berisik, Yo."

Gio mengabaikan, tersenyum miring. "Dua hari lo nggak pulang, Bang Dikta udah jadi penjaga pintu rumah. Chat dari gue, dia, sama Nanta juga nggak lo balas."

"Yo ...," Rean membalas senyuman miring, membuka sedikit mata. "Gue bukan anak kecil. Gue abang kalian, ingat? Gue ada urusan, laporan ke dewan komisaris juga dadakan."

"Lo masih punya rumah, Abang Pertama," tekan Gio, kesal. "Lain kali pulang, lo bisa-bisa ngegembel beneran kalau sendirian. Pakaian, kesehatan, lo tadi makan malam apa?"

"Makan," jawab Rean sekenanya.

"Gue tanya menunya apa?" cecar Gio.

Rean diam saja, mengedarkan pandangan. Ia memperbaiki posisi duduk saat lampu lalu lintas menunjukkan warna hijau.

"Sekarang juga belum sarapan. Benar-benar lo," gerutu Gio.

Rean tertawa pelan. "Lo kayak emak-emak, Yo."

"Bodo amat!" Gio menginjak gas. Sesekali memperhatikan kiri kanan pasa beberapa restoran bahkan pedagang kaki lima. "Lo mau sarapan apa?"

Rean melenguh, sesekali meringis, memejamkan mata dengan erat. Tulang punggung dan setiap bagian ototnya terasa nyeri sekarang, ingin rasanya ia meringkuk tapi tidak mungkin, selain tempat yang tidak emmungkinkan, di sampingnya juga ada si berisik Gio, kan?

"Bang!"

"Di rumah ada sarapan apa?"

"Roti hangusnya Nanta," jawab Gio sekedarnya. Memang benar, Nanta seringkali masak, sebagian hobi dari gadis itu, tetapi butuh kesabaran bagi seseorang untuk memakannya. Berhubung ketiga lelaki di rumah itu angin-anginan untuk memasak, mau tidak mau menerima saja masakan yang disajikan Nanta ala kadarnya. "Udah gue habiskan."

Rean membenarkan posisi duduk, memperhatikan sekeliling melalui kaca mobil dengan tidak selera. "Lo pengin apa?"

Gio melirik, sinis. "Kenapa lo yang balik nanya?"

Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang