Across Time

12 5 8
                                    

Peringatan:
Semua kejadian di cerita ini, nama tokoh, tempat, dan suasana di sini hanyalah rekayasa. Apabila ada kesamaan dari nama tokoh, tempat, dan suasana tersebut, itu hanyalah ketidaksengajaan. Mohon dimaklumi.

Banyak perkataan Verbal yang sedikit menyinggung, jadi saya mohon maaf sebelumnya

3 Tahun berlalu, semenjak pindahnya Lavender ke sekolah lain, Adrian semakin larut dalaam penyesalan. Seisi kelas mengucilkannya. Ia menilai dirinya tidak pantas berinteraksi dengan orang lain. Jangan berinteraksi dengannya, kau tak layak, benaknya.

Kini ia telah lulus SMP, dan melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Atas. Pagi hari, di kamar yang kosong, bahkan hanya ada lemari kecil, beralaskan karpet tipis, Adrian terbangun oleh suara Alarm dari ponsel genggam miliknya. Ia pun bangun dari tidurnya, menuju kamar mandi, dan bersiap untuk ke sekolah. Tampak kalender kecil yang ditaruh di atas lemarinya.

"Hari ini tanggal 15, ya?" ucapnya pelan.

Kalender itu memang menunjukkan tanggal 15 Juli. Anehnya, kalender itu hanya sampai 15 Juli saja. Tanggal setelahnya sudah dicoret, tidak tahu kenapa.

"Adriiaaann. Ayo sarapan! Nanti telat, lho!" terdengar suara ibunya memanggil dari lantai bawah.

"Iya, Buu!" sautnya.

Rumah yang sederhana di pinggir kota, ruang keluarga yang menyatu dengan ruang tamu, dan ruang makan yang hanya diisi tiga insan; Adrian, Ibunya, dan adiknya, Lala.

Sarapan telah selesai. Sebelum pergi, ia memberikan sebuah amplop putih kecil kepada ibunya.

"Apa ini?" Ibunya berkata.

"Buka aja, Bu," jawab Adrian.

Ibunya pun membuka amplopnya. Amplop itu berisikan uang yang tak terhitung jumlahnya. Yang jelas, uang itu mampu menghidupi Ibunya selama enam sampai tujuh bulan, mengingat, keluarga itu sudah kehilangan sosok ayah setahun silam.

"Aku berangkat dulu ya, Bu. Assalamu'alaikum." Adrian pergi setelah mengucap salam.

"Wa'alaikumsalam."

Ia pun pergi ke sekolahnya dengan berjalan kaki. Tas selendang berwarna biru tua, rambut yang acak-acakan, lengan baju yang ia lipat sampai di sikut, dan tubuh yang tidak terlalu berisi sudah menjadi penampilan yang melekat di diri Adrian.

Suasana pagi hari di pinggiran kota yang tidak terlalu ramai membuatnya tenang. Sinar mentari yang mengintip dari balik gedung gedung yang tidak terlalu tinggi. Ia menunggu di lampu merah, bersiap untuk menyebrang.

Setelah sekitar lima belas menit berjalan, sampailah ia di sekolahnya. Sekolah yang cukup bagus untuk belajar. Sekolah itu cukup besar, halamannya luas, memiliki gedung olahraga, aula yang besar, rumah kaca, bahkan ruang multimedia.

Tak seperti anak SMA pada umumnya, ia memilih untuk mengucilkan diri, mengingat ia merasa tak pantas berbicara dengan siapapun. Ia selalu berjalan menunduk, tak berani menatap wajah orang-orang, apalagi menyapanya. Ia nyaris tak punya teman di sana, bahkan di tahun keduanya menjadi siswa SMA.

Sampailah ia di kelasnya. Duduk di paling pojok, di samping jendela, benar-benar tipikal penyendiri yang tak butuh teman. Di kelasnya, ia satu kelas dengan teman, atau mungkin hanya rekan sekelasnya di SMP, Siska. Lucunya, Adrian mungkin tidak pernah berbincang dengannya jika memang tidak diperlukan. Teman sekelasnya pun terkadang mengajaknya bicara, pergi ke kantin, dan bermain bersama, tapi selalu diakhiri dengan kalimat, "Maaf, gue gak bisa" dari Adrian yang terdengar seperti penyendiri akut.

Nilainya di sekolah memang di atas rata-rata, namun dari segi keterampilan ia sangat rendah, mengingat cara ia bersosialisasi sudah sangat buruk.

Di waktu istirahat, saat orang lain saling mengobrol dengan temannya, ia hanya fokus kepada buku catatan yang ia tulis. Bukan tentang pelajaran, tapi tentang isi hatinya.

LavenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang