Musim dingin itu, seorang gadis kecil menatap kosong sebuah portrait yang dikelilingi oleh karangan bunga.
Itu adalah portrait seorang wanita dengan mata semerah rubi, fitur wajah yang persis dengan milik gadis itu. Labium pucatnya menyungging segaris senyuman tegas yang elegan. Kendati di wajahnya telah muncul garis-garis keriput, ia masih terlihat cantik. Tatapannya memancarkan aura damai yang menenangkan, seolah berusaha meyakinkan pada dunia bahwa ia telah menjalani hidup tanpa penyesalan.
Namun kalimat terakhir wanita itu masih terngiang jelas di kepala si gadis kecil.
"Maafkan aku, Rin," ucap wanita itu pada ranjang kematiannya. "Harusnya aku menyayangimu dengan cara yang lebih baik."
Ironis.
Minamoto Rin adalah nama gadis itu. Nama singkat pemberian neneknya yang memiliki arti 'bermartabat'. Ia baru saja kehilangan seseorang yang memberinya nama tersebut. Namun kepergian sang nenek membuat perasaan Rin menjadi semakin tak terdefinisi. Dia tidak menangis atau sekedar merasa sedih saat melihat kematian tepat di depan matanya, seolah ia telah kehilangan kemampuan untuk menderita.
Bagaimana aku makan setelah ini? Aku tinggal dengan siapa? Siapa yang akan membiayai kehidupanku?
Alih-alih berduka selayaknya keluarga yang baik, ia hanya peduli dengan ego dan ketakutannya, dan sebelum ada yang mengetahui, gadis itu sadar bahwa ia telah gagal menjadi seorang manusia.
"Gadis itu cucunya 'kan? Dia sendirian?"
"Kasihan sekali..."
"Orang tuanya mana?"
"Kau lupa kejadian tiga tahun yang lalu?"
"Ah, iya, kejadian yang itu..."
"Setelah ini, bagaimana dia hidup ya?"
Rin tidak memahami orang-orang semacam itu. Mereka bukanlah keluarganya, bukan pula orang yang ia kenal.
Tapi mengapa mereka ingin tahu?
Mengapa mereka mengasihaninya?
Apa yang membuat mereka begitu penasaran?
"Aku turut berduka," kata seorang pria—atau bisa dibilang anak laki-laki yang baru beranjak dewasa?
Sayap lebar serta pakaian berwarna terangnya begitu mencolok di antara pakaian gelap pengunjung rumah duka.
"Boleh aku tahu di mana keluargamu yang lain?" tanya laki-laki itu sembari tersenyum hangat.
"Anda siapa?" balas gadis itu dengan waspada.
"Namaku Kei—er, Hawks. Aku pahlawan yang bekerja di bawah Hero Public Safety Commision atau singkatnya, HPSC," jelasnya. "Aku datang sebagai perwakilan dari Nyonya Minamoto Hori, Bibimu."
Untuk beberapa saat, gadis itu diam membisu.
"Ayahku hilang—walau sudah dianggap mati. Beberapa tidak datang. Sisanya beneran mati." Gadis itu akhirnya menjawab pertanyaan Hawks.
Hawks merasakan sengatan aneh menjalar di sepanjang tulang punggungnya.
Bocah menyeramkan.
Atmosfir berubah semakin canggung ketika gadis itu mengamati Hawks dari atas sampai bawah. Namun semua itu berakhir di saat tiga orang memasuki rumah duka.
"Maaf kami baru datang."
Terdapat seorang gadis yang tampak memasuki usia remaja akhir, satu anak laki-laki yang sedikit lebih muda, serta seorang bocah laki-laki seumuran Rin. Mereka semua bersurai putih. Khusus untuk anak yang paling muda, yang memegang jaket kakaknya dari belakang, warna rambutnya bisa dibilang cukup aneh—setengah terang-setengah gelap. Begitu pun dengan bola matanya.
"Lama tak jumpa, Rin. Maaf kita harus bertemu di keadaan seperti ini," kata gadis yang tertua.
"Aku senang kalian datang, Fuyumi nee-chan, Natsu," ujar Rin. Matanya bergerak menatap anak laki-laki aneh itu. "Kamu juga."
Pegangannya mengerat.
"Oh iya, kalian belum pernah bertemu 'kan? Shoto, ayo kenalkan dirimu," kata Fuyumi. Gadis itu mendorong lembut pundak si bocah agar maju ke depan.
"Halo," sapanya malu-malu. Pipinya yang tampak penuh itu bersemu stroberi. Matanya melirik ke arah sepatu, tak berani menatap tajamnya mata merah Rin yang seakan menghakiminya. "Aku Todoroki Shoto. Aku sepupumu juga."
"Namaku Rin," balasnya dengan muka yang nyaris tanpa ekspresi. "Aku punya Xbox. Kita bisa main kapan-kapan. Fuyumi nee-chan dan Natsu juga boleh ikut."
Todoroki tampak gembira untuk sesaat, namun ekspresinya mendadak berubah kelam.
"Aku juga ingin main, tapi Ayah tidak akan memberi izin."
Rin memiringkan kepalanya bingung. "Kenapa?"
"Aku tidak boleh membuang waktu dengan bermain. Dia bilang aku adalah aset yang sempurna dan harus berlatih setiap hari."
Keheningan yang tercipta sangatlah canggung. Rin seolah mendengar suara imajiner gagak berterbangan.
Gadis itu memperhatikan Todoroki dari atas sampai bawah. Pada bagian kiri wajahnya terdapat luka bakar yang mencolok. Dan meskipun Todoroki memakai mantel, Rin dapat melihat luka memar pada pergelangan tangan bocah itu.
Gadis itu menyingkap lengan sweater, menunjukkan kulitnya yang dipenuhi lebam dan memar yang cukup parah. "Aku juga sering dipukuli dan dipaksa latihan oleh Nenek."
Lagi-lagi sunyi.
Tanpa mereka sadari, seluruh atensi pengunjung rumah duka telah fokus kepada percakapan mereka sejak awal.
Fuyumi berdehem panik. "Omong-omong, Ayah sedang ada kesibukan, maka dari itu ia tak bisa datang. Beliau menawarkan apakah kamu mau tinggal bersama kami. Kalau setuju, kami akan membantu mengemas barang-barangmu."
Hawks, yang merasa terabaikan, mengambil satu langkah mantap, "Anoo, maaf mengganggu keseruan reuni keluarga kalian. Meski begitu, HPSC telah mengangkat Rin secara resmi sejak tiga tahun yang lalu. Pula, secara hukum, hak asuh Rin dimiliki oleh pemimpin HPSC saat ini, Minamoto Hori, yang merupakan kakak perempuan dari Ayah Rin."
"Eh? Jadi Rin akan tinggal dengan Bibinya?"
"Tidak. Rin akan tinggal sendiri di apartemen khusus anggota HPSC."
Gadis itu nyaris pingsan saat mendengarnya. "Sendirian?!"
"Err... secara teknis, iya. Tapi aku berani menjamin bahwa anggota HPSC yang lain akan turut merawat Rin."
"Tapi tetap saja! Anak berumur sebelas tahun tinggal sendirian bukannya agak—
"Aku nggak keberatan," suara gamblang Rin menginterupsi argumen mereka berdua.
Keheningan melanda tepat ketika gadis itu berucap.
"Aku sudah biasa sendirian."
•••
•••
Trivia!
Nama: Minamoto Rin
Tanggal lahir: 12 Desember
Tinggi: 170 cm
Kesukaan: Video games
Quirk: Demon
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐚𝐢𝐧 𝐂𝐡𝐚𝐫𝐚𝐜𝐭𝐞𝐫 | 𝐌𝐨𝐧𝐨𝐦𝐚 𝐍𝐞𝐢𝐭𝐨
ActionDia tidak pernah kalah, sebab menang adalah caranya untuk bertahan hidup. Setelah ayahnya menghilang secara misterius, Minamoto Rin hidup di bawah kejamnya didikan sang nenek. Rin selalu menganggap bahwa kemenangannya selama ini tidak berarti apa p...