Last Dance

so

Tidak ada lagi percakapan yang terjadi antara kami dan yang kudengar hanyalah nafas pria didepanku yang memberat.

"Apa yang membuatmu ada disini, kalau aku boleh tahu?"

Ia menatapku sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu.

Tatapan yang menyedihkan.

Dia yang menyedihkan, bukan aku.

"Mirip-mirip dengan alasanmu yang ingin menjadi sepertiku."

Rahangnya terlihat mengeras kembali setelah mengucapkan kalimat itu. Terlihat sebuah paksaan untuk tersenyum dari otot sekitar mulutnya.

"Gadis yang beruntung." jawabku singkat.

Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat sambil membawa badanku memutari lantai dengan motif kuno.

"Tidak, aku yang beruntung pernah mendapatkannya."

Betul-betul gadis yang beruntung.

"Apa kau masih mengingat wajah gadis itu?" 

"Dia adalah orang yang kupikirkan sesaat sebelum aku meninggal. Aku mengingat wajahnya sampai detik ini. Bagaimana denganmu? Apa kau masih mengingat wajah suamimu?"

Aku menghela nafas berat menanggapi pertanyaannya.

"Tidak. Kau tahu, aku meninggal pada usia 90 tahun. Aku sudah kehilangan banyak sekali ingatan selama aku hidup. Satu-satunya foto pernikahan yang aku miliki harus terbakar dengan seisi rumah kami."

"Hidup yang cukup panjang, ya"

"Sangat. Aku tidak terlalu ingat banyak hal, tapi yang pasti kematiannya sangat sulit untukku. Aku ingin menyusulnya saat itu juga, tapi disaat aku akan mengakhiri hidupku, kutemui fakta bahwa aku mengandung putrinya."

Matanya membulat terkejut.

"Putri yang cantik, dia tidak mirip denganku, jadi sudah pasti dia mirip dengan ayahnya. Sayangnya dia tidak pernah tahu sosok ayahnya."

"Apa kau tidak takut meninggalkannya sendiri?"

"Ia sendiri sudah 60an tahun, justru aku merasa lega meninggalkannya. Ia tak lagi harus merawat ibunya yang sudah renta."

Kami berdua terdiam beberapa saat.

Aku yang sibuk memikirkan putriku, dan ia yang termenung dalam dunianya sendiri.

"Maafkan aku, Hanna."

-cont-