What Should've Been Said

47 8 0
                                    

content warning : death/suicide

⋇⋆✦⋆⋇ 
️️ ️️
️️ ️️
️️ ️️

Flashback

Jean berdiri di samping Bunda yang tubuhnya semakin kurus, dari hari ke hari. Ia bahkan belum makan sejak dua hari yang lalu. Entah tenaga apa yang masih tersisa dalam dirinya.

Waktu terasa berjalan sangat lama, dan itu menyiksanya. Ia ingin lari, tapi tidak ada tempat untuk menepi. Dunianya runtuh begitu saja tanpa menyisakan apapun.

Kedua orang tuanya bercerai. Mereka tidak lagi sanggup saling menanggung beban hidup, meskipun sudah bertahun-tahun bersama. Hak asuh Jean ada bersama Bundanya, dan adiknya Jia, ada bersama Ayahnya.

Bulan-bulan pertama, mereka masih sering bertemu, hampir setiap hari keduanya menghabiskan waktu bersama. Selang beberapa waktu, hanya sabtu dan minggu. Hingga akhirnya mereka hanya bisa bertemu di hari sabtu.

Jean kehilangan banyak cerita Jia. Belum lagi ia disibukkan dengan kegiatan anak kelas tiga, yang penuh dengan ujian dan persiapan masuk universitas. Baru kali ini, ia merasa sangat jauh dari Jia.

Dalam mimpi, Jean bertemu dengan Jia. Mimpi yang bahkan pudar setelah ia bangun, berhasil membuatnya menangis tanpa henti di tengah malam.

Mimpi buruk itu menghantuinya selama beberapa hari. Ia tidak bisa dengan mudah meminta bertemu dengan Jia, mengingat hubungan Ayah dan Bunda yang sudah terputus.

Hingga dua hari kemudian, Ayah menelepon Bunda untuk pertama kalinya setelah perceraian.

Bunda menarik Jean begitu saja ke dalam mobil, dan menginjak pedal gas tanpa belas kasihan ketika melewati jalanan ibukota.

Bau khas rumah sakit menyerbu indera penciuman Jean, begitu ia melangkahkan kakinya berlari mengikuti jejak Bunda.

Sang Ayah tersungkur lemas di lantai yang dingin. Tangannya gemetar dan pandangannya kosong. Jean menyaksikan keduanya bertengkar, untuk pertama kalinya, dengan mata telanjangnya sendiri.

Bunda beberapa kali memukul Ayah. Bukannya menghindar, Ayah justru seolah membiarkan dirinya dipukul. Jean mengerti situasi ini. Mimpi buruknya menjadi kenyataan.

Kata-kata terakhir yang ia dengar adalah berita ketidaksanggupan dokter untuk menyelamatkan Jia, yang meninggal karena kekurangan oksigen, setelah menggantung diri di dalam kamarnya. Jean pingsan setelahnya.

Di hari ia bangun, semua keluarga besarnya datang jauh-jauh menjaganya di kamar rumah sakit. Keberadaan Ayah dan Bunda tidak dapat ia temui.

Jean diantar ke pemakaman Jia. Ia seharusnya ada di barisan depan, tapi Jean merasa tidak layak. Ia gagal menjadi kakak, teman, dan sahabat bagi Jia. Ia menyaksikan semua hal dalam diam, walau pipinya basah dan kedua matanya merah membengkak.

Hari-hari berikutnya bagai neraka. Bunda tidak bergerak dan tidak berbicara. Jean tidak tau dimana keberadaan sang Ayah. Lagi-lagi, Jean menyalahkan dirinya, karena tidak mampu menjadi anak pertama, yang seharusnya bisa diandalkan.

Bibi datang ke rumah. Ia membawa pergi Jean serta Bunda, ke rumahnya, dan keduanya tinggal di sana sampai waktu yang cukup lama.

About Us (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang