Dijebak

15.1K 80 1
                                    

"Mas lagi nggak ada duit, Kasih. Beberapa bulan ini kerjaan Mas sedang kurang kondusif, jadi kerjaan banyak liburnya."

Kasih menghela napas berat, suaminya selalu saja beralasan seperti itu. Hari ini Kasih benar-benar membutuhkan uang, untuk membelikan ibunya obat, karena stok obatnya sudah habis.

"Mas udah nggak punya simpanan lagi, coba kamu pinjam dulu deh ke tetangga, siapa tahu dapat," sambung Danu dari ujung sana.

"Utang yang kemarin aja belum dibayar, ini disuruh minjam lagi, pasti nggak bakalan dikasih, Mas," keluh Kasih.

"Habisnya mau gimana lagi, Mas benar-benar nggak ada duit."

Sudah beberapa bulan ini, Danu tidak pernah mengirimkan uang, Kasih memahami hal itu. Tapi, semakin ke sini, Kasih semakin curiga dengan tingkah suaminya yang belakangan ini tampak berbeda. Kasih merasa jika Danu tengah menyembunyikan sesuatu.

"Mas lagi nggak bohong sama aku, kan?" tanya wanita itu penuh selidik.

Kasih mendengar dengkusan kasar dari ujung sana.

"Kamu nuduh Mas berbohong?"

"Bukan begitu, hanya--"

"Itu sama saja kalau kamu anggap Mas bohong. Emang susah ya kalau bicara sama kamu, ini yang Mas nggak suka dari sifat kamu, bawaannya selalu curiga terus," sentak Danu.

"Maksud Mas apa?"

"Halah! Sudahlah, teleponnya Mas matikan saja."

Baru saja Kasih ingin membuka mulutnya, panggilan itu langsung terputus.

Kasih menghela napas berat. Kentara sekali jika wanita itu tengah kecewa. Danu, pria satu-satunya yang selalu dia andalkan, nyatanya tak dapat membantu, lantas ke mana lagi dia harus mencari bantuan?

Prang ....

Kasih terperanjat kaget ketika mendengar suara benda jatuh. Buru-buru dia melangkahkan kakinya menuju kamar ibunya.

Matanya membola ketika melihat serpihan gelas berhamburan di mana-mana.

"Ibu!" jerit Kasih.

Kasih tak memedulikan bagaimana kakinya yang terkena pecahan gelas itu, yang dia khawatirkan saat ini adalah ibunya. Mutia tampak memegangi kepalanya sambil meraung kesakitan.

"Sakit, Kasih," erang Mutia.

"Iya, Bu. Secepatnya aku akan membeli obatnya, Ibu yang sabar, ya," pinta Kasih dengan mata berkaca-kaca.

Kasih harus berusaha keras untuk meminjam uang. Secepatnya, kalau terus-terusan ditunda, ibunya akan semakin lama merasakan kesakitan.

'Maafin aku, Ibu. Karena telah gagal menjadi anak yang membanggakan,' batin Kasih sambil meneteskan air mata.

Kasih bernapas lega ketika melihat Mutia tidak lagi mengerang kesakitan. Ibunya tampak tertidur pulas. Kasih menatap ibunya cukup lama. Namun, semakin Kasih tatap, ada yang berbeda dari cara Mutia tertidur.

"Bu," panggil Kasih pelan, sambil menggoyangkan tubuh Mutia dengan pelan.

Tak ada respon, membuat Kasih kembali menggoyangkan tubuh ibunya.

"Ibu, jangan bikin aku takut, Bu. Ayo bangun, aku janji akan belikan Ibu obat," ucap Kasih yang tampak ketakutan.

Lagi-lagi Mutia tak menjawab, Kasih semakin cemas, tangannya gemetar, keringat dingin bercucuran. Kasih tahu bahwa saat ini Mutia tengah pingsan.

Tak ada cara lain, jalan satu-satunya adalah membawa Mutia ke rumah sakit, Kasih tak ingin mengambil risiko jika terjadi sesuatu pada ibunya.

***

Partner di Atas RanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang