Meminta Imbalan

4.1K 52 3
                                    

Kasih tersenyum lebar ketika melihat ibunya sudah sadar, senyumannya makin mengembang ketika netranya bertemu pandang pada ibunya yang saat ini tengah tersenyum padanya.

"Kasih," panggil wanita paruh baya itu.

"Ibu, akhirnya aku kembali melihat senyumanmu, aku sangat merindukannya," ucap Kasih sambil mendekap erat tubuh wanita itu, sesekali terdengar Isak lirih dari Kasih.

"Ibu sudah tidak apa-apa, Nak. Terima kasih karena sudah mau memperjuangkan Ibu."

Kasih menggeleng, dia sama sekali tidak setuju dengan ucapan ibunya.

"Sudah sepantasnya aku sebagai anak harus mengurus Ibu, kenapa Ibu malah bicara seperti itu?" tanya Kasih agak ketus.

Ditanya seperti itu wanita paruh baya itu hanya tertawa pelan. Namun tak lama kemudian dahinya berkerut, lalu menelisik ruangan itu dengan seksama.

"Ada apa, Bu?" tanya Kasih cemas. "Apa Ibu masih merasakan sakit?" tanyanya lagi.

Mutia menggeleng, dia menatap Kasih dengan tajam.

"Dari mana kamu mendapatkan uang, Nak? Apa mungkin dari Dani? Tapi ... apa iya dia sanggup membayar operasi sebanyak itu?" tanya wanita itu.

Senyum Kasih perlahan memudar. Dia sudah memprediksi bahwa akan mendapat pertanyaan seperti itu dari ibunya, dia pun juga sudah menyiapkan jawaban yang menurutnya sangat tepat. Namun sayangnya, tetap saja rasa gugup itu lebih mendominasi. Bagaimana jika ibunya tahu bahwa dia mendapatkan uang tersebut dari hasil menjual diri?

"I-iya, Mas Dani yang mengirimkan uang itu," jawab Kasih gugup.

"Sebanyak itu? Ibu tahu pasti biayanya sampai ratusan juta, kan?"

Kasih mengusap tengkuknya dengan perlahan. "Mas Dani juga meminjam uang di perusahaan tempatnya bekerja, Bu."

"Ya Tuhan," erang Mutia sambil menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya. "Kenapa Dani melakukan seperti itu, bagaimana cara membayarnya," lanjut wanita paruh baya itu sedih.

Kasih mengusap pundak Mutia dengan pelan. "Ibu tidak usah memikirkan hal itu, biar aku dan mas Dani yang mengurusnya. Tugas Ibu adalah menjaga kesehatan Ibu, tidak usah terlalu banyak memikirkan hal yang tidak penting."

"Tapi, Nak--"

"Nggak, Bu. Emangnya Ibu mau lihat aku sedih terus?"

"Maafin Ibu karena selalu membawa kalian dalam masalah." Mutia tertunduk lesu.

"Ibu ini bicara apa sih, sudah sewajarnya aku sebagai anak wajib berbakti terhadap orang tua. Jadi tolong, jangan anggap Ibu sebagai beban. Ibu tetaplah Ibu, wanita yang berjuang melahirkanku, membesarkanku, hingga aku sudah besar seperti sekarang," sahut Kasih tidak suka.

"Terima kasih, Nak."

"Sama-sama, Bu. Tolong hilangkan wajah murung Ibu itu, aku tidak suka melihatnya."

Mutia pun akhirnya tersenyum lebar, dia merentangkan kedua tangannya. Kasih pun mendekat lalu mendekap ibunya dengan erat.

"Aku sayang sama Ibu, tolong jangan tinggalkan aku sendiri. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain ibu dan ...." Kasih menelan ludahnya dengan susah payah. "Mas Dani," lanjutnya dengan suara tercekat.

"Sampaikan salam Ibu pada Dani. Beruntung sekali Ibu mendapatkan menantu yang begitu pengertian sepertinya, dan yang paling beruntung, dia sangat sayang dengan anak Ibu, dia sangat mencintai kamu, Kasih," ucap Mutia bangga.

Kasih tersenyum kaku, seandainya saja Mutia tahu kalau Dani di sana selingkuh, pasti Mutia tidak akan memuji pria itu terlalu berlebihan.

Melihat Kasih diam saja, Mutia pun mengalihkan pembicaraan. "Ibu udah boleh pulang, kan?" tanya wanita paruh baya itu.

Partner di Atas RanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang