AMOR - Fantasi

146 14 12
                                    

Hal pertama yang kulihat begitu menjejakkan kaki di balkon adalah benang melayang yang memenuhi langit. Merah, merah muda, hitam, dan putih. Empat warna dominan dari benang-benang itu. Siapa pun pemilik benang itu pastilah orang yang sudah pernah kupanah.

Dengan pakaian, busur, dan tas yang khusus dibuat oleh Vulcan, aku membuka sayap. Ah, rasanya lega sekali, seperti beban yang tergantung di pundak hilang begitu saja. Pasti ini yang dirasakan Jupiter saat ia melemparkan petir padaku. Aku berbalik menatap pantulan diri di kaca jendela, takut kalau-kalau aku lupa menghilangkan tubuh.

Saat yakin manusia tak bisa melihat wujud dewaku ini, aku segera mengepakkan sayap putih besar nan indah ini. Padahal baru kemarin aku terbang, tapi entah kenapa selalu terasa seperti sudah lama tidak terbang. Sayapku mengepak membawa tubuhku melayang bersama benang-benang. Manusia tampak seperti semut ketika dilihat dari atas sini.

Aku mengeluarkan Buku Takdir Cinta dari dalam tas. Buku yang mengatur siapa saja manusia yang harus kupanah hari ini. Layaknya Apollo yang mengatur matahari atau Diana yang mengatur bulan, aku pun mempunyai tugas untuk mengatur cinta. Buku Takdir Cinta inilah yang membantuku.

Buku Takdir Cinta berisi nama-nama target yang sudah dan akan kupanah hari ini, esok, atau beberapa tahun ke depan. Lalu peraturan-peraturan yang tentu saja tidak boleh kulanggar. Selain itu ada penjelasan warna-warna benang yang tengah melayang bersamaku ini.

Benang merah untuk manusia yang sudah bersatu. Benang merah muda untuk manusia yang masih menemukan cara untuk bersatu. Benang hitam untuk manusia yang sudah kehilangan pasangannya dan tidak bisa mendapatkan pasangan lagi. Terakhir benang putih untuk manusia yang sudah kehilangan pasangannya tetapi masih bisa mendapatkan pasangan lagi.

Target pertamaku hari ini adalah seorang cowok berambut jahe dengan bintik-bintik di wajahnya (yah, manusia berambut jahe identik dengan bintik di wajah) dan seorang cewek berambut cokelat. Joseph dan Bianca. Ah, sial. Mereka berada di benua berbeda. Aku harus terbang dari Eropa menuju Amerika untuk menyatukan kedua manusia ini. Ini hal yang kubenci dari pekerjaan.

Setelah menyimpan Buku Takdir Cinta ke dalam tas kembali, aku berkata, "Selamat bekerja, Amor."

"Semoga dewa menyertaiku," lanjutku yang dibalas gelegar petir.

Wah, gila! Aku bisa saja hangus tersambar petir kalau tak cepat-cepat menghindar. Jupiter memang menyebalkan.

Aku memilih memanah Joseph dulu yang tinggal di Arizona, alasannya karena aku tinggal di Seattle (buka aplikasi Google-mu kalau tidak tahu). Sayapku mengepak dengan cepat menuju Arizona, kota gurun yang cocok untuk melihat bintang di malam hari. Aku pernah berpikiran untuk tinggal di sana, tapi tidak jadi. Arizona terlalu panas.

Setelah menempuh waktu sekitar 25 menit, aku tiba di Arizona. Untuk mempermudah pencarian, aku membuka Buku Takdir Cinta. Foto target kutekan lama seraya mengucapkan mantra.

"Simsalabim." Voilà. Benang biru muncul dari Buku Takdir Cinta yang ujungnya menuju targetku, Joseph.

Aku segera mengepakkan sayap mengikuti arah benang biru. Aku dapat menambahkan benang berwarna lainnya—kecuali empat warna utama—untuk menandai di mana posisi targetku. Benang biru tidak mengarahkanku ke kota Arizona, melainkan tebing gurun. Kutebak, dia pasti menghabiskan malam untuk melihat bintang.

Benar. Joseph berada di salah satu tebing seraya membereskan barang-barangnya. Apa langit Arizona sebagus itu ketika malam hari? Entahlah. Aku harus menghabiskan minimal sehari di tebing gurun Arizona.

Sayapku berhenti mengepak, sedangkan tangan kiriku sudah memegang busur dengan erat dan tangan kananku memegang anak panah. Sebelum meletakkan anak panah itu di busur, aku terlebih dahulu mengucapkan mantra yang menimbulkan warna merah muda berkelap-kelip di ujung besi anak panah.

Storiette Where stories live. Discover now