Piano of the Past - Fantasy

8 0 0
                                    

"Sudah dengar? Katanya di taman ada sebuah piano yang dapat mengembalikan kita ke masa lalu."

Langkah kaki seorang cowok yang tak sengaja mendengar obrolan dua orang cewek di depannya melambat. Cowok yang wajahnya ditutupi kain berwarna hitam dengan setelan seragam sekolah itu menajamkan pendengarannya. Bukan gayanya untuk menguping pembicaraan orang lain. Namun, hal ini begitu menarik perhatiannya.

"Ah, ya, aku sudah dengar," sahut cewek berambut hitam terurai. Wajahnya dihiasi kacamata bulat dan sedikit pewarna di bibirnya. "Tapi, itu cuma lelucon bukan? Maksudku, mana ada piano yang bisa membawa kita kembali ke masa lalu. Pasti itu hanyalah ucapan anak-anak konyol."

Cewek di sebelah mengangkat bahunya. Rambut pendek yang dihiasi jepitan stroberi ia usap menggunakan tangan kiri. "Ya, kau benar. Lagi pula, tidak ada seorang pun di sini yang bisa bermain piano, jadi tidak ada yang bisa membuktikan kebenaran rumor tersebut."

Ucapan kedua cewek itu benar apa adanya. Di balik masker, si cowok tertawa hambar. Bisa-bisanya ia sempat memercayai hal itu. Meskipun masih ada suatu harapan di hatinya, ia berusaha untuk tidak mengacuhkannya. Ia terus menggerakan kaki melewati deretan pepohonan yang daunnya mulai berguguran, menyeberang jalan raya saat lampu penyeberangan berubah hijau, dan melewati taman yang menjadi tempat di mana piano itu berada.

Benar saja. Piano hitam ada di tengah-tengah taman, di samping air mancur besar. Tampak indah meskipun hanya dibuat untuk bermain-main. Beberapa anak cowok tengah menekan tuts piano dengan asal, menghasilkan suara yang sangat tidak enak untuk di dengar. Beruntungnya, suara itu tertutup oleh tawa mereka.

"Aratz!"

Dari arah kiri setelah penyeberangan jalan, muncul seorang cewek yang rambutnya dikucir satu. Senyum mencapai telinga hadir di wajahnya. Terlihat sekali kalau ia amat bahagia.

"Ibuku membawakan bekal untukmu," ucap si gadis sambil memberikan sekotak tempat makan pada Aratz.

"Untukmu saja."

"Ambil, Aratz."

Mau tak mau Aratz mengambil kotak makan tersebut. Meskipun hatinya tidak ingin menerima, Aratz lebih tidak ingin berdebat dengan cewek di sampingnya. Urusannya akan panjang dan beruntung kalau hanya berakhir hari ini. Dengan gerakan perlahan Aratz memasukkan kotak makan itu ke dalam ranselnya.

"Anania," panggil Aratz dengan suara kecil. "Sudah dengar tentang piano di taman?"

"Apa?"

"Sudah dengar tentang piano di taman?"

Anania mendengus. "Bukankah aku pernah bilang padamu untuk tidak memakai masker saat berbicara denganku?"

Aratz membuka kain penutup wajahnya. Oksigen langsung berlari menuju hidungnya begitu ia melepaskan masker dari wajahnya. Aratz tak tahu kalau hari ini udara akan terasa sangat menyegarkan. Ia menyimpan maskernya di saku celana bagian kanan lalu beralih menatap Anania yang tengah melipat tangan di depan dadanya.

"Sudah dengar tentang piano di taman?" Untuk ketiga kalinya Aratz bertanya pertanyaan yang sama.

"Ah, iya. Piano itu sudah menjadi topik hangat di sekolah sejak kemarin, tapi tentu saja tidak ada yang percaya. Memangnya kita hidup di dunia dongeng? Mana bisa kita kembali ke masa lalu, bahkan ilmuwan pun tidak bisa membuktikan hal itu."

"Kau pernah, loh, ke masa lalu."

Anania mengedipkan matanya beberapa kali lalu berkata, "Yang benar?"

"Bintang yang kau lihat menggunakan teleskop musim panas lalu itu sebenarnya berada di masa lalu. Cahaya bintang yang berada sangat jauh dari bumi memerlukan jutaan tahun untuk bisa sampai ke bumi."

Storiette Where stories live. Discover now