Seoul, 22 Januari 2020
Aku menyayangkan hari ini hariku dimulai dengan helaan napas berat yang kukeluarkan, entah mengapa aku merasa ini sangat berat, padahal aku hanya tinggal menemui keluargaku saja. Kutatap bayanganku pada cermin, kemeja navy dengan balutan jas hitam sudah melekat ditubuhku dengan celana bahan hitam.
Kemarin aku sampai di Seoul saat subuh, tetapi aku memilih untuk tak pulang dulu ke rumah dan malah menyewa hotel, nyatanya persiapan diriku kemarin, saat malam terakhir aku di Amsterdam masih belum cukup. Katakan saja aku payah, maka aku akan mengakuinya.
Dan sekarang apa?
Baiklah, tenang Jung...kau hanya perlu melangkah keluar dari hotel, memesan taxi kemudian pulang ke habitat aslimu.
Arghh...sial rasanya kenapa jauh lebih sulit dari pada saat aku sidang kuliah pendidikan terakhirku dulu..
Pada akhirnya si Jung payah ini melangkahkan kakinya keluar hotel dengan penuh keraguan dan keengganan.
.
Hingga beberapa menit perjalanan sampai juga aku di tempat tujuan. Rumah mewah yang menjadi saksi aku diperlakukan tidak adil oleh keluargaku sendiri beberapa tahun silam. Maaf saja aku masih mengungkit, karena seperti yang kukatakan sebelumnya rasa sakit hati masih mengiringi setiap langkahku, dan sejujurnya itu membuat diriku sedikit trauma. Memang benar, aku payah. Pantas sejak dulu ayah dan ibumu tak pernah berada dipihakmu Jae, bahkan untuk membanggakan anaknya di depan teman sejawatnya, ibu dan ayah lebih memilih Yoonoh untuk dibanggakan dibandingkan dirimu.
Sepertinya mereka sudah berkumpul, mungkin acara makan malamnya juga sudah dimulai. Aku lupa mengatakan aku datang memang seminggu sebelum acara pernikahannya berlangsung, Yoonoh menyuruhku datang hari ini agar aku ikut makan malam sekalian berkenalan dengan calon kakak iparku.
Aku melangkah ragu, ketika ingin kuketuk pintu utama, justru pintu itu terbuka lebih dulu menampilkan wajah terkejut bibi Nam, dengan mata yang berkaca-kaca. Mungkin merindukan si kecil pembuat onar yang kini sudah beranjak dewasa, berdiri dengan gagahnya dihadapannya. Aku tersenyum lembut padanya, beliau langsung membuka lebar kedua tangannya menyambutku dengan pelukan hangat layaknya seorang ibu yang telah lama menanti kedatangan putranya.
Aku tak pernah mendapatkan hal itu dari ibu, mungkin Yoonoh sering, bahkan jika aku tidak kembali lagi selamanya orang tuaku tak akan pernah masalah dengan hal itu. Baik lupakan sejenak.
Aku ingin menikmati dulu masa-masa pelepasan rinduku dengan wanita tua yang sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Sejak dulu bibi Nam memang selalu bersedia mengulurkan tangannya mengurusku, ketika kedua orang tuaku sudah lelah dan tidak mau lagi menghadap kepala sekolah, ketika aku membuat masalah di sekolah, maka bibi Nam lah yang menggantikan, dan aku akan pulang dengan wejangan panjang lebar darinya. Bahkan untuk menampung segala keluh kesah, segala sakitku bibi Nam bersedia melakukannya.
Boleh dibilang beliau adalah orang yang sangat berpengaruh di masa laluku, aku bertahan berkat bibi Nam yang selalu menyemangatiku tanpa harus aku mengemis perhatiannya.
“Selamat datang kembali, nak,” katanya dengan lembut setelah pelukan kami terlepas, ia mengusap helai dark brownku penuh kasih sayang.
“Terimakasih bibi, senang melihat bibi baik-baik saja.”
“Bibi juga senang melihatmu sehat, sekarang kau sudah bertambah dewasa dan tampan,” pujinya, aku hanya tersenyum tipis. Setelahnya Bibi Nam kembali membuka suara,
“Nak, semuanya sudah berkumpul. Tuan muda Yoonoh, sudah menantimu.”
Aku tidak terkejut mengetahui bahwa hanya Yoonoh yang mengharapkan kehadiranku. Aku tersenyum, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang mungkin bisa bibi Nam tangkap dari kedua irisku. Ia mengusap lenganku dengan lembut, kedua legamnya menatapku seolah memberi pengertian kepadaku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Redamancy [JAEYONG]
Fanfiction"Yoonoh berarti sekali ya bagimu? Meski dia sudah tidak ada tapi kenapa dia tetap membuatku iri Taeyongie?" WARN ¡¡ • boys love || bxb || yaoi • m-preg • alur maju-mundur • angst /start : 06-03-2022 © 2022 fieanggraa