00.5 ; Taeyong

338 51 9
                                    

“Aku turut berduka atas kepergian putramu, Jung. Maaf waktu itu aku tidak hadir di upacara kematian Yoonoh, aku harus menyusul putraku ke Swiss hari itu.”

“Terimakasih, tak masalah kami mengerti. Kami benar-benar merasa kehilangan Yoonoh bahkan di tahun ketiga setelah kematiannya.”

“Aku pun begitu, padahal Yoonoh adalah seseorang yang sangat bisa diandalkan di perusahaan, anak itu juga luar biasa baik kepribadiannya.”

“Ya tentu, dia putra kebanggaanku sampai kapan pun itu. Aku masih menyayangkan takdir Tuhan yang lebih dulu memanggil Yoonoh, kenapa harus Yoonoh?”

Obrolan itu mengisi acara makan malam kali ini. Aku tidak begitu yakin apakah ini ide yang bagus atau sebaliknya ketika tempo hari aku menyetujui ajakkan ibu untuk makan malam. Tetapi aku tidak bohong sejak tadi bahkan saat masih di perjalanan aku merasa khawatir. Pun dengan kedatangan Tuan Kim—rekan bisnis ayah dan Yoonoh dulu—yang tak diundang tetapi tetap disambut dengan baik, semakin membuat rasa khawatirku membuncah.

Pasalnya sepanjang makan malam berlangsung ibu, ayah, dan Tuan Kim hanya membahas soal pekerjaan mereka, Yoonoh dan sesekali menanyakan tentang diriku, seolah melupakan satu sosok hidup yang masih bergabung dengan kami. Sosok yang juga masih putra keluarga Jung,  Jaehyun. Keberadaannya bahkan tidak digrubis sedikitpun oleh mereka.

Aku diam-diam melirik ke arah Jaehyun di sampingku yang hanya memainkan dengan tak minat makanannya tanpa disuap sedikitpun. Bagaimana lelakiku itu menjadi sangat pendiam dengan binar kesedihan pada manik legamnya yang ditutupinya dengan sempurna. Aku sedih melihat Jaehyun begini, inilah alasan mengapa selalu berat bagiku untuk menyetujui pertemuan dengan ibu dan ayah. Seperti ini yang akan selalu terjadi jika kami berkumpul, Jaehyunku selalu sebagai pihak yang tidak dianggap keberadaannya disana, kecuali olehku tentu saja.

“Jae, ingin tambah cuminya?” tanyaku berbisik. Aku bertanya bukan untuk berbasa-basi, aku hanya ingin memastikan bahwa suamiku baik-baik saja. Jaehyun menoleh kepadaku dengan senyum yang mampu menggores hatiku, ia menggeleng sebagai jawaban. Aku mengangguk dengan senyum tipis kusematkan walau netraku memadangnya sendu.

Nyatanya Jaehyun berpura-pura baik-baik saja di hadapanku lagi, padahal aku tau suasana hatinya sudah memburuk saat ini.

Sesaat kami dalam keheningan, hanya ada suara dentingan sendok dan sumpit stainless yang beradu dengan piring, sebelum Tuan Kim kembali membuka percakapan, “Jadi, Taeyong ini menantu kalian? Istrinya—”

“Istriku. Jung Taeyong istriku bukan Yoonoh.”

Aku kembali menoleh saat suara datar milik suamiku menyambar bahkan ketika Tuan Kim belum menyelesaikan pertanyaannya. Hatiku menghangat saat Jaehyun seolah mempertegas statusku, diam-diam aku tersenyum samar. Tetapi senyumku tak bertahan lama ketika menyadari tatapan tajam yang dihunuskan oleh ibu dan ayah ke arah Jaehyun, seakan tak menyukai kenyataan itu.

Sementara Tuan Kim memasang ekspresi terkejut dengan mulut yang membulat, setelahnya ia hanya mengangguk dan tersenyum canggung.

“Ah, begitu, maaf aku tidak tau,” katanya dengan canggung.

“Untuk apa meminta maaf, toh Taeyong memang istri sah Yoonoh. Namun, anak ini dengan lancang merebut Taeyong dari kakaknya sendiri bahkan belum genap sebulan kepergian Yoonoh. Benar-benar tidak ada rasa hormat.”

Ibu...

Bagaimana bisa ibu berkata seperti itu? Sementara Jaehyun tidak melakukannya.

Jaehyun hanya menawarkan bahunya di saat aku terpuruk atas kepergian suamiku, dan aku yang lemah dengan mudah menjatuhkan hatiku sedalam-dalamnya pada sosok Jung Jaehyun saat itu. Bukan Jaehyun yang salah. Hanya waktunya tidak tepat.

Redamancy [JAEYONG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang