Aku membuka perlahan pintu kamarku dan Jaehyun, di sana aku bisa melihat Jaehyun yang sudah duduk di atas ranjang membelakangiku.
Oh, kami sudah sampai di rumah beberapa menit yang lalu, aku sudah mengganti bajuku dengan piyama satin biru gelap, dan sepertinya Jaehyun juga sudah selesai bersih-bersih karena suamiku itu juga sudah berganti baju dengan piyama serupa denganku—tidak lebih tepatnya hanya celananya saja, tanpa atasan karena suamiku terbiasa tidur dengan bertelanjang dada, kecuali jika udara sedang sangat dingin menurutnya.
Aku menghampirinya, dan duduk di sebelahnya perlahan. Wajah muram itu seketika tersenyum tipis saat menyadari kedatanganku, hingga kini kami saling melempar senyum tipis.
Jaehyun memang begitu sejak dulu, seburuk apapun suasana hatinya ia tetap akan menyematkan senyum untukku, hingga kadang aku merasa cemas sebab Jaehyun selalu bersikap seolah dirinya baik-baik saja di hadapanku, padahal aku tau bagaimana perasaannya saat ini.
”Susunya sudah diminum?” tanyanya lembut, ia mengusap belakang kepalaku sebentar, sebelum kembali menautkan jemarinya yang bertumpu pada pahanya.
Aku mengangguk atas pertanyaannya, lagi Jaehyun tersenyum dan mengangguk mengerti.
Jujur saja hatiku hancur setiap kali melihat Jaehyun seperti ini. Bagaimana lelaki itu selalu berusaha menyembunyikan kesedihannya di hadapanku. Ia bahkan masih perhatian denganku di saat sebenarnya dirinyalah yang sangat membutuhkan hal tersebut. Aku tau perkataan ibu tadi masih mengusik pikirannya.
Aku pun diam-diam merasa sakit hati atas ucapan ibu juga perlakuan ibu dan ayah kepada Jaehyun. Namun, aku tak bisa berbuat apapun.
Hingga akhirnya aku menjatuhkan kepalaku pada bahu telanjang Jaehyun, meraih sebelah tangannya hingga kini tautannya terlepas, kemudian kumainkan jemari besar yang selalu membelaiku itu.
“Ada apa? Apa baby nakal padamu?” tanyanya lembut, sepertinya ia menangkap raut sedih, cemas, dan sendu yang bercampur menjadi satu di wajahku. Aku menggelengkan kepala.
“Ingin sesuatu sayang?” Lagi, aku menggeleng. Aku mendengar Jaehyun menghela napas pelan, setelahnya ia malah menuntunku untuk berbaring, Jaehyun ikut berbaring di sampingku dan menyelipkan lengannya di antara belakang leherku dan kasur, mengizinkan lengannya kujadikan bantal.
Posisiku telentang dan Jaehyun menyamping menghadapku, tangan sebelahnya ia gunakan untuk menerobos piyamaku dan mengusap perutku dengan lembut.
“Apa posisinya begini nyaman untukmu?” tanyanya lembut, aku mengulum bibir dan mengangguk, “nyaman.”
Jaehyun...demi Tuhan aku mengkhawatikanmu sayang. Mengapa kau tak menangis saja di hadapanku?
Mengapa kau bersikap seperti ini? Malah perlakuanmu yang seolah menenangkanmu, di saat seharusnya aku..
Jaehyun mengapa kau tak mengeluh padaku?
Ayo tumpahkan saja semuanya pada istrimu ini. Mengapa beban itu terus kau tahan di kedua bahumu? Sekuat apa dirimu, sayang?
Jaehyun mengapa kau bersikap seolah kau tak menyadari aku mengkhawatirkanmu?
“Taeyong..” Akhirnya Jaehyun memanggilku dengan nada yang terdengar lirih, setelah lama kami saling terdiam.
“Ya Jae?”
“Apa kau mencintaiku?” Aku tertegun mendengar pertanyaan tersebut. Seketika aku ingat bagaimana beberapa minggu lalu Jaehyun kembali salah paham dengan perasaanku, hari di mana ia mengira aku masih mencintai Yoonoh sebagai lelakiku di saat itu pula aku merasa hatiku teremat sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Redamancy [JAEYONG]
Fanfiction"Yoonoh berarti sekali ya bagimu? Meski dia sudah tidak ada tapi kenapa dia tetap membuatku iri Taeyongie?" WARN ¡¡ • boys love || bxb || yaoi • m-preg • alur maju-mundur • angst /start : 06-03-2022 © 2022 fieanggraa