"Dikta, tolong Mama jaga Gio lagi, ya. Nanta juga tolong dilihat-lihat mana tau Bibi lagi sibuk."Dikta Anggara. Cowok yang menduduki bangku kelas dua SMA itu berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengembus napas kasar. Seperti biasa, jika kalimat itu sudah meluncur, sudah dipastikan beberapa koper sudah disiapkan begitu juga dengan salah satu pemilik kamar lantai atas yang akan pergi bersama kedua paruh baya di hadapannya ini.
Rean. Dikta menatap tajam, memperhatikan abang yang terpaut dua tahun dengannya itu meniti anak tangga terburu-buru. Kemeja abu gelap, tas sandang hitam yang bahkan Dikta tidak tahu apa isinya sampai mengembung seperti itu, serta ....
"Ah, ya. Paspor."
Diam-diam Dikta berdecak, berdiri tegak di ambang pintu rumah. Si ceroboh seperti Rean, memangnya bisa memimpin perusahaan? Ah, dibandingkan dirinya, tentu saja bisa. Si penurut itu selalu gila akan belajar, bersikap kaku, bahkan senantiasa berorientasi pada jadwal. Benar-benar tidak menikmati masa muda, pikir Dikta.
Belum sempat menyelesaikan satu masalah, sontak saja suara meleking dengan nada bicara yang terbata itu memanggil dari lantai atas. "Mama! Mau ke mana!"
"Gio! Jangan lari-lari!" teriak Mama histeris, membuat Dikta yang memasang raut wajah tidak peduli terpaksa menoleh. Gio, adiknya itu benar-benar menimbulkan keriuhan di rumah ini. Setiap tingkahnya, baik itu kesulitan berbicara, ataupun bergerak sana sini tanpa rasa takut, selalu menguji kesehatan jantung setiap anggota keluarga.
"Jalan pelan-pelan, Gio," peringat Dikta.
Gio yang mendapat peringatan dari Dikta merendahkan kecepatan jalannya sejenak, meniti anak tangga dengan hati-hati. Ya, hati-hati jika saja ia tidak langsung melompat dari sisa anak tangga ketiga hingga ke lantai dasar.
"Gio!" tegur Dikta menghampiri. Nihil, anak laki-laki itu berlari, menghindari Dikta yang ingin menangkapnya. Secepat kilat saja ia sudah berada di pelukan Mama, seakan tidak mau lepas.
"Jangan tinggalin Iyo. Iyo mau ikut," ucap Gio, mengangkat kepala, memperhatikan Mama yang jauh lebih tinggi darinya.
"Gio," panggil perempuan itu tersenyum lembut, mengusap puncak kepala Gio. "Gio sama Bang Dikta dulu, ya. Gio, kan, masih harus sekolah."
"Kalau gitu Iyo nggak usah sekolah dulu, gimana?"
Dikta berdecak, menjitak kepala Gio dengan pelan. "Lo masih harus banyak belajar. Udah, tinggal aja sama gue. Temenin gue, sini!"
"Nggak!" Gio menepis tangan lebar itu.
Dikta mengembus napas panjang, mengangkat kedua bahu.
Tidak cukup menahan Mama, Rean yang sudah turun dan memastikan tidak ada lagi yang tertinggal, langsung langkah itu dicegat oleh tubuh kecil Gio. Anak laki-laki itu merentangkan tangan, menatap Rean dengan tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]
Roman pour AdolescentsDi dunia yang menyebalkan ini, ada sebuah rahasia yang paling ingin Rean sembunyikan hingga mati. Tidak peduli orang-orang menganggapnya seperti apa, yang pasti biarkanlah rahasia penuh kelam itu menjadi tanggungannya. Namun di sisi lain, semenjak k...