Bagian 10 - Cita-cita

3 1 4
                                    

"Nilai tertinggi jatuh pada Arya kali ini! Ibu sangat menyukai cerpenmu, tapi cerpen kalian bagus semua." Bu Mawar membagikan nilai yang di peroleh murid-muridnya.

Waktunya istirahat sebelum pelajaran Penjas.

Arya kegirangan, ia tak henti-hentinya melihat nilainya pada tulisan cerpennya.

"Sudah kuduga sih, imajinasiku memang kurang. Lagipula aku keseringan memakai logika." keluh Vera.

"Aku kagum, Arya. Nilaiku jauh di bawah untuk buat hal beginian. Setelah aku baca, cerpenmu memang menarik. Tulisannya rapi dengan tutur kata yang dibuat dengan unik." komentar Chiko.

"Karena aku mau jadi guru SD, jadi aku harus mempersiapkan cara mengajar yang menyenangkan agar mereka tidak bosan. Cerpen ini kujadikan latihan dan ternyata sangat mudah untuk membuatnya!"

Chiko dan Vera langsung tercengang, luarbiasa untuk mengetahui bahwa cita-cita Arya adalah menjadi guru SD.

"Kenapa kau mau jadi guru SD?" tanya Chiko.

"Karena aku lebih cocok di lingkungan berisi anak-anak daripada bersama orang dewasa. Aku terinspirasi pada salah satu guru SD-ku, belajar sambil bermain itu menyenangkan." Jawab Arya.

"Lalu, kalian bagaimana? Sudah ada cita-cita?" tanya Arya balik.

"Aku hanya berpikir untuk bekerja di Perpustakaan kota setelah lulus." Chiko menjawab dengan malu-malu.

"Aku ingin bekerja di museum, mengamati lebih banyak hal yang berhubungan dengan sejarah." jawab Vera dengan yakin.

"Ayo kita raih impian kita dan menggenggamnya dengan erat." Arya memotivasi teman-temannya.

Chiko dan Vera mengangguk setuju.

Setelah berganti pakaian, mereka bertiga langsung menuju lapangan dan berkumpul menunggu guru olahraga mereka.

"Anak-anak, ayo mulai dengan lari keliling lapangan lima kali!" guru olahraga akhirnya datang dengan membawa sekitar delapan raket dan sekeranjang kecil kok.

Mereka semua berlari beraturan, tetapi Vera tertinggal di belakang. Meski sudah di latih banyak kali oleh Arya dan Chiko, ia masih kesulitan mengikuti kelas olahraga.

Arya yang melihatnya sedikit mengurangi kecepatan, "Nona lesu, ayo lebih cepat!"

"Kau masih memanggilku dengan sebutan itu?!"

"Itu kenyataannya. Aku tidak harus membawa cermin agar kau mengetahui bentuk wajahmu sekarang, kan?" Arya berusaha memendam tawanya.

Lima putaran sudah mereka lewati, Vera masih mengatur nafasnya sementara teman sekelasnya semua sudah segar.

"Payah sekali, hah...." lima putaran saja dia sudah tidak kuat, jika lebih dari itu, dia akan berhenti di tengah-tengah pemanasan.

Tiba-tiba ada sebuah raket di berikan padanya. Vera langsung melihat wajah orang yang memberikan benda itu padanya.

"Kenapa?! Kau mau membuatku masuk UKS?" Vera menatap tajam padanya.

Arya pura-pura ketakutan, "Dari lesu menjadi galak, sebutanmu bisa bertambah, lho, nona galak."

"Diam kau! Kalau berani, lawan aku!" Vera merampas raket itu.

"Dengan senang hati."

Sekarang para murid berpasang-pasangan untuk bermain badminton. Karena jumlah mereka ganjil, jadi ketua kelas mereka, Chiko, akan menjadi wasit.

Sekarang giliran Arya dan Vera, mereka sudah siap di posisi. Saat sudah dimulai, Vera jauh lebih lincah di banding sebelumnya, ini membuat Arya bersemangat.

Bagus sekali! Kelihatannya aku tidak perlu mengalah lagi!

Mereka saling mengejar skor namun karena Arya lebih ahli, pada akhirnya dialah yang menang. Vera tertinggal enam skor.

Arya mendekati Vera "Bagus sekali, tidak sia-sia aku mengajarimu!"

Vera mengabaikannya dan duduk di bangku ditepi lapangan.

Arya membuntutinya, "Mengabaikan orang itu tindakan yang kurang bagus. Murid teladan tidak boleh bersikap buruk."

"Kau juga ingin menjadi peringkat satu?"

"Tidak juga. Ayolah, cuma karena hari ini nilai bahasaku lebih tinggi dan kau kalah di badminton tadi, kau langsung memberiku cap sebagai sainganmu?" Arya berusaha membujuknya.

"Aku pikir kau suka persaingan. Persaingan merepotkan, tidak mudah mendapatkan sesuatu, bahkan jika sudah mendapatkannya, bukan berarti itu tidak bisa diambil oleh orang lain." tambah Arya.

"Entah kenapa, kau suka sekali memberikan kata-kata seperti itu. Kau sadar tidak saat mengatakannya?" ujar Vera.

"Tidak kok, aku tidak pernah mengatakan apapun sebelumnya. Aku cuma meniru orang-orang. Mengatakan hal keren seperti itu, tidak mungkin aku yang buat kata-kata itu." Arya membantah.

Mereka duduk dan menonton pertandingan dari teman mereka yang lain.

"Chiko bagus juga menjadi wasit. Dia sama sekali tidak melakukan kesalahan dalam penilaian." kata Arya ditengah-tengah melihat pertandingan.

"Aku setuju, dia tidak pilih kasih." imbuh Vera.

"Menjadi pemimpin yang adil, itu layak dia dapatkan."

Vera mengangguk.

"Ngomong-ngomong apa kau sadar?" Arya bertanya secara spontan.

"Apanya?"

"Kau dan aku dulu berkenalan di jam pelajaran Penjas dan saat itu juga kita bermain badminton. Jahat sekali waktu itu kau bilang aku ini pembawa sial bagimu, nona Lidya Vera Shabila."

"Kau masih mengingat hal itu, si kucing hitam, Arya Agra?"

"Setidaknya berterima kasihlah padaku, karena aku masih mau berteman denganmu meskipuuuunnn sudah kau ejek." Kata Arya dengan nada menyindir.

"Dasar haus perhatian kau."

Can I Protect That Smile?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang