"Yo! Udah sampai! Lo ngapain peluk-peluk gue! Lepasin, haish!"Dikta berdecak, menepis tangan Gio yang sudah melingkari pinggangnya. Si menyebalkan ini, tidak bisakah menahan kantuk sejenak hingga sampai rumah? Lagipula, bagaimana bisa tertidur begitu saja setelah menghabiskan beberapa toast yang dibeli? Tidak mengandung obat tidur, kan?
"Gio!" panggil Dikta sekali lagi, melepaskan helm, lalu menimpuk kepala yang tertumpu di bahunya dengan nyaman.
"Apaan, dah, Bang?" Gio mengucek mata, memperhatikan sekeliling. Pandangan sayu ala bangun tidur tercetak jelas pada wajahnya, sesekali menguap. Ingin sekali rasanya Dikta melayangkan helm sekali lagi. "Udah sampai?"
"Nggak usah sok pulang malam lagi lo," peringat Dikta, turun, lalu meraih kantong bening berisi makanan yang ia gantung di kendaraan beroda dua. "Gimana bisa lo pulang sendiri kalau udah tepar kayak gini? Nabrak orang yang ada."
"Iya, bawel," gerutu Gio, mengusap kedua telinga hingga memerah demi menghindari ocehan dari Dikta. "Buruan elah, Bang, jalannya!"
"Mau gue timpuk benaran kayaknya," desis Dikta. Namun, belum sempat ia meluncurkan sumpah serampah jauh lebih panjang lagi, pintu rumah terbuka seketika. Bukan Gio yang membuka, bahkan adiknya itu belum sempat mengetuk.
Melainkan Rean.
Tatapan tajam, wajah sok angkuh yang senantiasa memerintah. Dikta menghela napas panjang, bukan saat yang tepat untuk Rean memasang wajah seperti itu di hadapannya.
Lagipula jika Rean berbicara yang tidak menyenangkan, sudah Dikta pastikan tidak akan aman. Tingkat kesabarannya sedang menurun sekarang, sedikit saja menghabiskannya, maka Rean akan melihat hal yang belum pernah ia lakukan.
Rean yang berusaha sebisa mungkin ia hormati, tidak untuk cari masalah, bahkan berbicara baik-baik. Namun, pengecualian malam ini.
"Lo pulang sama Gio?" tanya Rean, mengambil sekantong cemilan yang disodorkan Dikta, tanpa berbicara. "Jawab pertanyaan gue, Dik."
"Kebetulan dia lagi mampir ke rumah Reyhan juga," jawab Dikta asal, lalu memperhatikan lantai atas. Kamar Nanta sudah tertutup rapat begitu juga Gio. Beda darinya dan Rean, hal yang patut Dikta syukuri ketika adik-adiknya itu tidur dengan cepat dan tidak mudah terbangun. Ya, seperti apa pun situasinya.
"Gue harus lakukan sesuatu supaya dia jarang keluar," ucap Rean, mengacak rambut dengan gusar, memperhatikan pintu kamar lantai dua itu.
"Lo nggak perlu lakukan apa-apa. Udah gue bereskan semuanya," jawab Dikta datar. Melepaskan kacamata sejenak, lalu mencuci wajah, berharap air dapat menyegarkan pikiran, serta mengembalikannya pada kewarasan sesaat.
Memperhatikan Gio dan Nanta yang berusaha mendapatkan perhatian Rean dengan berbagai cara sungguh ingin membuat Dikta melayangkan pukulan sekali saja ke wajah abangnya itu agar jauh lebih peka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]
Ficção AdolescenteDi dunia yang menyebalkan ini, ada sebuah rahasia yang paling ingin Rean sembunyikan hingga mati. Tidak peduli orang-orang menganggapnya seperti apa, yang pasti biarkanlah rahasia penuh kelam itu menjadi tanggungannya. Namun di sisi lain, semenjak k...