27 : NGGAK LAGI MAIN-MAIN

250 40 7
                                    

"Bang! Lo habis ngapain, dah, sampai bisa kayak gini?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bang! Lo habis ngapain, dah, sampai bisa kayak gini?"

Dikta meringis, sesekali menepuk tangan Gio yang berada di punggung begitu adik laki-laki itu menekannya terlalu kuat. "Gue minta tolong lo mijet, kan? Bukan omelin gue? Yang pelan, elah! Rontok entar tulang punggung gue."

"Mana tulang rusuknya belum ketemu pula," ucap Gio asal lalu tertawa pelan, dengan setengah hati memijat abangnya itu. Ya, tidak akan ia lakukan jika Dikta tidak mengiminginya dengan selembar uang lima puluhan. "Bang, kayaknya gue buka bisnis tukang pijat aja, dah. Lumayan."

"Gue nggak jadi bayar kalau gi--"

"Heh! Jadi!" Buru-buru Gio menyambar kembali lembar lima puluhan di meja lalu memasukkannya ke saku. "Gue udah mandi padahal pas ngantar Nanta ke sekolah tadi. Gara-gara lo, gue jadi ikutan bau minyak urut."

"Entaran ada masanya lo juga bau minyak u ... woi! Pelan-pelan!" tegur Dikta, menepis tangan Gio, tetapi nihil, tidak sampai.

Gio mendesis, abang keduanya ini tidak bisa dijadikan contoh sama sekali. Sudah berapa kali pertanyaan diabaikan begitu saja tanpa dijawab, huh? "Bang, jawab pertanyaan gue."

"Nggak ada ngapa-ngapain gue cuma sa--"

Deritan pintu dari kamar lantai dua terdengar, memperlihatkan Rean berkemeja biru dengan lengan yang tergulung. Ah, Dikta membuang wajah, enggan menatap. Sorot pandangan Rean lagi-lagi seakan memerintahnya.

"Lain kali kalau mau melakukan sesuatu, pikirkan dua kali, mengerti?" ucap Rean, meraih setangkup roti yang ada di piring, lalu mengunyahnya begitu saja. "Gue berangkat dulu. Lo berdua siap-siap, selesai rapat nanti, gue jemput kalian. Ikut gue buat cek wilayah acara kegiatan perusahaan."

"Lo juga, sebelum bicara harusnya pikir dua kali, ngerti?" peringat Dikta, lalu meringis saat Gio yang menatap kedua abangnya dengan heran, menghentikan kegiatan. "Yo, buruan kasih minyaknya lagi."

"Ah, hampir lupa." Rean yang baru saja hendak mengenakan sepatu kiniimembalikkan langlah, memperhatikan Dikta di ruang tengah. "Pakai koyo di kamar gue. Maaf buat semalam."

"Gue maafin," ujar Dikta, mendengkus. Membiarkan suara deritan pintu tertutup. Resmi sudah hanya ada ia dan Gio di rumah ini. Ya, lihat saja, sebentar lagi pasti akan ada banyak pertanyaan yang keluar dari Gio.

"Abang berantem sama Bang Rean?"

Sudah diduga, Gio yang gampang ditebak baik pikiran mauupun suasana hatinya. Dikta mengembus napas panjang. "Salah gue, tiba-tiba kagak waras semalam, ngajak dia berantem. "

"Jadi, lo kayak gini gara-gara dia?"

"Banyak tanya," gerutu Dikta, setelah dirasa agak mendingan, ia meraih laptop di meja, membukanya. "Gue yang mulai duluan. Gue lupa kalau dia bisa aikido."

"Aikido," gumam Gio, memijat bahu itu dengan kuat berhasil membuat Dikta menepuk lututnya dengan kuat, merutuki. "Dulu pas gue sekolah, ekskul itu ada, banyak peminatnya bahkan."

Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang