Dating With Maboi II

2.4K 535 13
                                    

"Bagaimana bisa Gavin mirip adik, Mbak. Sementara Papa kandung Gavin sudah mati bahkan sebelum dia tahu Gavin ada di dunia ini."

Aku berdeham, menghilangkan rasa tidak suka yang bercokol di dalam diriku, sedari pagi segala hal yang aku lalui sangat tidak mengenakan hingga tanpa sadar apa yang aku ucapkan pada Kak Askia, Mamanya Nathasa ini, yang baru aku kenal begitu ketus.

Rasa bersalah aku rasakan melihat wajah cantik tersebut mengerjap, tampak merasa bersalah karena dia yang berbicara sesuatu yang ternyata menyakitiku. Sungguh aku merasa bodoh, bagaimana bisa aku jengkel pada Kak Askia mengenai ucapannya yang mengatakan jika Gavin milik adiknya sementara Kak Askia tidak tahu jika apa yang dia ucapkan membuka hatiku yang terluka dan mengorek lukaku yang membusuk tidak pernah sembuh.

"Maaf, Sis!" Kembali aku mendengar nada lirih penuh rasa bersalah Kak Askia, untuk kedua kalinya dalam beberapa menit, dan percayalah, melihat tatapan memelas tersebut membuat rasa bersalahku karena sudah mengeluarkan kalimat sarkas menjadi berlipat ganda. "Aku nggak tahu kalau suamimu sudah meninggal." Tambahnya lagi penuh penyesalan.

Aku mendesah lelah, menyesali pertemuanku dengan wanita baik hati yang perasa ini, terbiasa selama 6 tahun ini mengeraskan hati agar tidak ada yang bisa menyakitiku membuatku begitu buruk saat bertemu dengan orang baik seperti Kak Askia, dia seperti aku 6 tahun yang lalu, yang memandang dunia penuh dengan warna warni indah dan orang-orang baik seperti yang aku lihat pada mereka, sungguh naif, karena nyatanya dunia hanya penuh dengan orang jahat, culas, dan tidak memiliki hati.

Ingin sekali rasanya aku mengoreksi ucapan Kak Askia, pria yang menjadi Ayah biologis Gavin sama sekali bukan suamiku, dan rasanya sangat tidak layak orang sebaik Reyhan di bandingkan dengan pria brengsek berhati iblis yang membuat hidupku terlunta-lunta.

Tapi aku menutup kembali bibirku sebelum bibir tersebut terbuka untuk berucap, yang aku ucapkan justru sangat jauh berbeda, "nggak usah ngerasa nggak enak, Kak. Toh pria sialan itu juga sudah mati, percayalah, lebih menyakitkan kalau Papanya Gavin masih ada."

"Kamu benci sama suamimu?"

"Benci? Tentu saja aku benci Papanya Gavin! Tapi aku lebih benci diriku sendiri yang dulu pernah percaya pada Bajingan sepertinya. Hal terbaik yang pernah Papanya Gavin lakukan adalah dia pergi dan tidak kembali lagi dalam hidupku."

Aku bisa melihat bibir milik wanita cantik tersebut kembali terbuka, seperti ingin kembali mengatakan apapun yang ada di kepalanya, tapi ternyata perempuan yang aku panggil Kakak ini cukup pintar untuk menutup mulutnya dan menekan kekepoannya, dia belajar dari kesalahan di mana sudah dua kali menyinggungku dengan rasa ingin tahunya.

"Maaf ya, Sis. Aku kadang lupa kalau nggak semua orang seberuntung diriku."

Aku menganggukkan kepala dengan kaku mendengar ucapan maafnya untuk ketiga kalinya. Untuk kali ini aku tidak berusaha membenarkan apa gang Kak Askia ucapkan, biarlah dia belajar, jika tidak semua orang seberuntung dirinya yang bisa dengan santai menunggui anaknya tanpa khawatir besok bagaimana membayar uang SPP dan cicilan mobil agar anak tersayang kita tidak kepanasan dan kehujanan. Dengan nafas tercekat, aku sedikit tidak bisa menahan rasa iriku atas takdir yang Tuhan berikan adalah, Kak Askia memiliki keluarga yang utuh, dari penampilannya yang terawat, berkelas, dan terhormat, sudah pasti dia berasal dari keluarga yang mapan, dan suaminya pasti juga mencintainya.

Aku manusia normal yang punya perasaan. Melihat segala keberuntungan yang melekat di diri seseorang saat diri kita compang-camping tentu saja menimbulkan perasaan iri.

Suasana canggung melingkupi kami berdua untuk beberapa saat, Kak Askia sepertinya sedang meresapi pikirannya sendiri yang terlalu atraktif sementara aku memperhatikan ruang tunggu transit para penjemput yang mulai ramai.

Bus sekolah memang di sediakan untuk siswa sekolah ini, sekolah terpadu mulai dari playgroup sampai SMA dan juga universitas, sudah aku bilang bukan, sekolah pilihan Reyhan untuk anak angkatnya ini sekolah mahal, fasilitas bus itulah yang di gunakan Gavin untuk berangkat dan pulang sekolah. Hal yang sebelumnya aku syukuri tapi sekarang aku sesali.

Melihat betapa ramainya penjemput di transit khusus TK ini membuatku teriris, aku baru memahami alasan kenapa putraku yang sangat aku sayang sampai tega melontarkan kebencian untukku. Di sini, di depan matanya berpasang mata menyambut buah hati mereka pulang sekolah, sementara Gavin, mungkin dia adalah salah satu sedikit yang pulang sendirian dengan bis sekolah. Bukan hanya itu, dengan semua kemesraan orangtua dan anak, teman-teman Gavin yang nakal pasti melihat betapa berbedanya Gavin sampai mereka tega menyebut Gavin anak haram.

Tuhan, perbuatanku memang haram. Tapi Engkau selalu berkata setiap anak adalah suci, bukan?

Aku membuka mataku perlahan saat suara ramai dan ricuh terdengar, suara yang baru aku sadari jika anak-anak TK sudah mulai keluar, aku tidak memperhatikan siapapun, saat aku beranjak yang aku cari adalah sosok tampan berkulit bersih dengan rambut hitamnya yang susah di atur, putraku sendiri.

Lama aku mencari di tengah para siswa TK yang mulai menghambur ke arah orangtua mereka masing-masing, dan saat lautan penjemput mulai sepi, aku melihat sosok mungil yang kini terlihat lebih jangkung padahal setiap hari aku bersamanya.

Senyumku yang sebelumnya mengembang begitu lebar mendadak menghilang saat melihat bagaimana putraku berjalan dengan menunduk tidak mau melihat ke arah kerumunan yang mulai menyebar, aku tahu dengan jelas jika Gavin tidak mau melihat interaksi hangat orangtua dan anak tersebut, bagi orang lain, ritual menjemput anak seperti sekarang sama sekali tidak berarti, tapi untuk diriku, untuk anak broken home seperti Gavin itu adalah hal yang membuat iri.

Aku merasa begitu buruk karena terlalu banyak hal yang aku inginkan hari ini. Sungguh aku benar-benar kacau. Tapi aku bertekad, semua hal ini tidak boleh mempengaruhiku untuk menebus pertengkaranku dengan Gavin tadi pagi.

"Gaviandra!" Panggilku keras, menyebut nama lengkap Gavin agar perhatiannya tertuju padaku. Untuk sekejap Gavin nampak tidak percaya dengan apa yang di lihatnya jika aku tengah menjemputnya, satu hal yang menyayat hatiku, tapi saat Gavin melirik gadis kecil di sebelahnya dan melihat anggukan di sertai senyuman yang menjawab ragu anakku, senyum Gavin mengembang, langkah kaki panjangnya menguat, dan seperti sebuah part dalam sinetron, Gavin menghambur memelukku dengan begitu erat.

Pelukan yang mengungkapkan banyak hal dari hati Gavin, terlalu banyak yang dia simpan dan pendam untuk anak seusianya. Bahasa tubuh seperti ini yang kadang memberitahukan apa yang tidak bisa di ucapkan dengan kata.

Aku nyaris bunuh diri tadi pagi mendengar kata benci dari Gavin. Namun sekarang dari eratnya Gavin memelukku aku tahu putraku juga menyesali apa yang dia katakan. Dia tidak sengaja melukaiku karena terlalu banyak luka yang dia rasakan. Hal yang tidak sepantasnya di rasakan anak berusia belum genap 6 tahun sepertinya.

"I'm so sorry, Mama."

Rindu AskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang