6 Tahun Yang Lalu III

2.2K 449 15
                                    

Yang punya KK bisa melipir ya buat baca Rindu Askara di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang punya KK bisa melipir ya buat baca Rindu Askara di sana. Ada dua format cara baca.
Dan buat tim e-book mohon bersabar, semoga secepatnya bisa rilis ya

Lelah.
Namun aku tidak ingin berhenti berjalan.
Dingin.
Derasnya air hujan bahkan mengguyur tubuhku yang sudah lemah dengan begitu menyakitkan, tapi tubuhku sudah mati rasa karena hatiku yang sudah hancur berkeping-keping, hingga semua rasa sakit yang aku rasakan di tubuhku bukanlah sesuatu yang mampu membuat air mataku berderai.
Apa yang aku lihat di depan mataku yang lebih menyakitkan daripada tetesan hujan dan juga dinginnya udara di tengah badai.
Sebuah acara megah, pesta yang di gelar di sebuah rumah mewah dengan tamu orang terhormat membawa mobil yang hanya mampu di beli mereka yang penghasilannya bukan lagi ratusan juta sukses membuat mati lebih terasa baik daripada hidup penuh rasa hina dan terbuang seperti yang aku rasakan sekarang

Aku kira undangan yang di berikan oleh Ibunya Askara hanya sebuah tipuan agar aku pergi meninggalkan putranya, hal yang sangat masuk akal usai beliau menghinaku dengan ucapan-ucapan yang sangat menjijikkan. Menuruti hati yang keras kepala untuk membuktikan jika semua hal yang di ucapkan orangtua Askara hanyalah sebuah kebohongan aku datang ke tempat ini.

Hasilnya, seluruh hidupku hancur seketika mendapati semua kalimat sombong Ibunya Askara adalah kebenaran. Askara, dia akan bertunangan dengan seorang yang menurut Ibu dan juga keluarganya pantas bersanding dengan sosok Askara yang sempurna.

Yah, rupanya ini adalah salah satu alasan Askara mengacuhkan semua yang berkaitan denganku, dia tidak sibuk dengan tugasnya, tapi dia sibuk menyiapkan sebuah acara di mana dia akan bertunangan dengan seorang wanita yang sederajat, yang pasti hanya akan tinggal menghitung tanggal untuk memutuskan menikah.
Sementara diriku?
Dibiarkan, di acuhkan, agar aku sadar diri dengan sendirinya jika aku hanyalah sebuah mainan, tidak peduli dengan semua yang aku berikan terhadap Askara.
Mungkin baginya aku adalah boneka cantik yang dia kejar dan dia bawa ke atas ranjang tanpa pernah serius dengan semua kalimat cinta yang pernah dia ucapkan, tanpa pernah mengingat janji yang dia berikan.

Dengan hati yang sudah tercerai berai, harga diri dan kehormatan yang sudah terkoyak tidak berbentuk lagi aku melangkah pergi, meninggalkan gedung mewah yang membuatku nampak seperti kotoran menjijikkan.

Di tengah derai hujan yang semakin deras mengguyur ibukota aku menangis keras, tidak memedulikan mereka yang berteduh dan menatapku kasihan, berbisik-bisik mengataiku orang yang mulai gila, aku mendengar semua yang mereka katakan, tapi nyatanya aku sudah tidak punya daya hanya untuk sekedar peduli, sama seperti dunia dan takdirnya yang sama sekali tidak mengasihaniku.

Kini semua orang mencaciku.
Menghinaku, dan menyalahkan diriku yang telah berbuat dosa. Bahkan untuk sekedar pulang aku sudah tidak memiliki tempat, Ibuku meninggalkan karena kecewa yang aku berikan, Ayahku bahkan tidak sudi melihatku, sekarang Askara, seorang yang aku pikir tidak akan meninggalkanku justru dengan teganya menendangku begitu saja dari hidupnya.

Si Kaya dan Si Miskin.
Kami sama-sama berbuat dosa, namun hanya aku yang di salahkan. Hanya aku yang di buang.
Bahkan jika aku mati pun, tidak akan ada yang peduli denganku.

Mati?
Langkahku terhenti saat satu pemikiran muncul di benakku yang sebelumnya kosong. Suara deras air sungai yang meluap seolah mengaminkan apa yang baru saja terlintas di benaknya. Jawaban atas semua rasa sakit hati dan hancurnya hidupnya.
Yah, rasanya mati jauh lebih baik di bandingkan dengan semua kesakitan yang aku rasakan sekarang. Dengan aku mengakhiri semua ini, tidak ada lagi yang akan menghinaku, Ayah tidak akan menanggung malu lagi, dan aku bisa bertemu dengan Ibu.

Suara air semakin bergemuruh di tempatku berdiri sekarang mengaburkan padatnya suara kendaraan yang berlalu lalang, sebuah jembatan dengan lalu lintas padat di bawahnya menggodaku, dengan tekad yang bulat aku meraih besi pembatas menatap jalanan yang begitu ramai, riuh kendaraan, semudah itu, aku hanya perlu terjun menuju padatnya kendaraan yang melaju dan tidak sampai dalam hitungan jam semua rasa sakit akan pergi.

Senyumku mengembang, beban yang menggunung di bahuku, hatiku yang terkoyak hingga aku sulit bernafas kini terangkat semuanya.

Selamat tinggal dunia.

"Apa kau gila, Nona? Mencoba bunuh diri di sini!" Namun sayangnya sebuah sentakan aku dapatkan, memaksaku untuk turun dari besi pembatas yang akan mengantarku menuju neraka, iya neraka tempat yang cocok untuk pendosa menjijikkan sepertiku. Tangisku kembali meledak hebat di tengah hujan yang semakin bersemangat menumpahkan airnya, mengaburkan pandanganku pada sosok yang sudi menghampiriku di tengah hujan yang mengganas, aku memberontak keras ingin melepaskan diri dari siapapun dia yang juga terus membentakku berharap aku sadar.

"Lepaskan! Biarkan aku mati!" Segala cara aku lakukan untuk melepaskan diri, aku menendangnya, memukulnya, bahkan menggigitnya, tapi sayangnya pria tersebut tetap bergeming di tempatnya.

"Sadarlah, Nona! Bunuh diri hanya akan membuat masalah baru untuk semua yang kamu tinggalkan! Sadar, istighfar!" Aku sadar seratus persen dan aku ingin mati, tidak ada lagi yang menginginkanku di dunia ini.
Penyelamatku, dia tidak tahu jika hidupku sudah tidak berarti lagi. Tuhan, ya dia sedang menghukumku dengan menyakitkan, tidak hanya membalas dosaku menjadi sebuah sampah, Dia juga tidak mengizinkanku mati.

"Lepaskan, Tuan! Tolong, biarkan aku mati saja!" Pintaku tidak berdaya, kini aku tidak memberontak, seluruh tubuhku sudah lemah, semua yang terjadi membuatku lelah jiwa dan raga, dan akhirnya aku tumbang, merosot tanpa ada kekuatan sama sekali.

Semuanya menjadi buram, bukan lagi karena hujan yang begitu deras, tapi aku juga yang tidak sanggup lagi membuka mata. Seluruh tubuhku terasa melayang, rasa dingin air hujan terasa memelukku dengan rasa sakit yang mengiringi, tanpa sadar aku kembali tersenyum merasakan segala hiruk pikuk mulai menghilang di telan kegelapan yang menyenangkan, sesuatu yang aku inginkan lebih dari pada sebuah pertolongan pria yang tidak aku kenal ini, mungkin aku tidak akan mati tenggelam dalam sungai, tapi bagaimana pun caranya, apapun yang terjadi pada tubuhku sekarang, setidaknya malaikat maut mau menjemputku sekarang.

Karena aku benar-benar sudah tidak ingin hidup lagi di dunia ini.
Seperti yang aku katakan tadi, Neraka yang pantas untuk menjadi tempat seorang pendosa sepertiku.
Ayah, maaf karena anakmu ini sudah mengecewakanmu, menyalahgunakan kepercayaan yang engkau berikan hanya karena hal bernama cinta.
Seumur hidup Ayah dan Ibu menjagaku, namun hanya karena kehadiran seorang pria yang hanya aku kenal beberapa waktu saja aku mengabaikan kepercayaan Ayah dan Ibu.
Aku membuat malu, dan aku membuat kecewa.
Tapi tenang saja Ayah, Rindu akan pergi sekarang. Tidak ada lagi yang akan membuat Ayah malu.
Semua aib ini akan Rindu bawa mati.

Rindu AskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang