Bertemu Masalalu III

3K 667 23
                                    

"Aku tidak peduli kamu mengenalku atau tidak, aku hanya peduli dia anakku atau bukan, Sialan!"

Suara rendah menggeram penuh kemarahan tersebut membuat tubuhku bergetar, aku sudah berusaha keras menahan diriku agar tidak membunuhnya detik ini juga, tapi umpatan yang keluar darinya dan mengatakan jika aku sialan meruntuhkan pertahanan diriku.

Aku menurunkan Gavin, niatku untuk melarikan diri darinya pupus sudah. Yah, mungkin takdir memang ingin menyiksaku. Tidak cukup membuatku keceplosan membuka rahasia yang selama ini aku sembunyikan dari Askara, kini aku juga tidak bisa menahan emosiku. Selama ini aku sukses berpura-pura tegar di hadapan semua orang tidak peduli betapa mereka mencaciku karena statusku yang janda, atau single parent tanpa kejelasan, tapi tidak dengan Askara.

Sama sepertiku yang penuh dengan amarah, sorot mata tajam yang pernah membuatku jatuh cinta tersebut menghujamku dengan menyakitkan seolah aku sudah membuat kesalahan fatal terhadapnya. Sungguh aku ingin meludahi sikap arogan dan sombongnya perwira muda pengecut satu ini.

Tubuh tersebut mengikis jarak di antara kami, berusaha mengintimidasiku dengan tubuh tingginya, seharusnya aku takut kepadanya, iya jika dalam situasi normal, tapi kemarahan memberikan kekuatan kepadaku, Askara bisa mengintimidasi orang lain. Tapi tidak denganku. Aku lebih mengenalnya dibandingkan dengan orang lain.

Dia, Askara, hanyalah seorang Perwira Militer anak orang kaya yang pengecut dan menyalahgunakan status Abdi Negaranya. Bahkan untuk bertanggungjawab atas dosa yang di perbuatnya saja dia tidak berani.

"Jawab Rindu, dia anakku, bukan?" Untuk kedua kalinya dia bertanya, pandangannya beralih berulang kali antara aku dan Gavin yang berusaha aku sembunyikan, orang bodoh pun pasti akan melihat jika Gavin adalah fotokopian seorang Askara, tapi aku sama sekali tidak sudi mengakuinya.

Anaknya? Seorang dengan sikap pengecut dan brengsek seperti dirinya tidak pantas menjadi figur Ayah untuk siapapun.

Guncangan keras darinya pada kedua bahuku yang berusaha membuatku menjawab tanyanya, membuatku semakin mengeras dengan emosi yang ada di ujung kepalan tanganku.

Nyaris saja tanganku melayang kepalanya untuk menghajarnya dan mengirimnya pada Lucifer di Neraka, tapi tanpa aku sangka, Gavin yang terlepas dari pegangan tanganku justru menyeruak maju dan tanpa ampun memukul Askara sekuat tenaga dengan tas sekolahnya yang berat dengan bermacam-macam barang.

Ya, putraku ini menghajar Askara tanpa ampun dan tanpa jeda sama sekali, suara tasnya yang berkelontangan mengundang penasaran mereka yang melintas. Pemandangan di mana seorang anak kecil usia TK memukul seorang Perwira Militer tentu bukan pemandangan yang bisa di temukan sembarangan tempat, tidak memedulikan banyak orang yang melihat dan juga Askara yang mengaduh tidak berdaya karena lawannya seorang bocah, Gavin terus memukul Askara tidak memberikan kesempatan pada Askara untuk menghindar dari sambitan tas dan juga tendangan kecilnya yang beringas.

"Jangan jahatin Mama!"

"Aduuuh!!! "

"Nggak ada yang boleh marahin, Mama!"

"Stop, Boy!"

"Gavin bakal aduin ke Ayah Gavin!"

"......... "

"Nggak ada yang boleh nyakitin, Mama! Nggak boleh!"

"............ "

"Gavin nggak akan biarin Om sakitin, Mama!"

Rasa haru memenuhi dadaku melihat bagaimana Gavin berusaha melindungiku, usianya mungkin masih kecil, tapi kembali Gavin memperlihatkan sikap dewasanya yang bertindak sebagai pelindungku. Semenjak aku meraihnya ke dalam gendonganku dan berlari pergi, Gavin pasti sudah merasa jika ada sesuatu yang tidak beres terjadi antara aku dan Askara.

Mungkin aku dan Gavin jarang berinteraksi layaknya anak dan Ibu karena aku harus bekerja, tapi tetap saja hubungan Ibu dan Anak membuat ikatan kuat tersendiri. Gavin pernah berujar jika dia membenciku, tapi lihatlah, bagaimana dia bisa membenciku jika putra kecilku ini kini justru menjadi pahlawan untuk Ibunya.

Aku senang melihat Askara tersiksa dengan semua yang di lakukan oleh Gavin untuk melindungiku, tapi nuraniku sebagai seorang Ibu yang terbiasa meminta putraku untuk bersikap baik membuatku mendekati Gavin yang mengamuk tanpa ampun tersebut.

Dengan satu gerakan, aku membawa Gavin ke dalam pelukanku, menenangkannya yang masih berusaha untuk meraih Askara yang nyaris saja terkapar di hajar oleh putranya, satu kenyataan yang aku pastikan tidak akan di ketahui olehnya.

"Lepasin Mama! Biar Gavin pukul Om jahat ini! Biar tahu rasa Om ini sudah marahin Mama!"

Aku menggeleng pelan, menenggelamkan wajahku ke pundak kecil tersebut, rasanya sangat menyakitkan merasakan kemarahan Gavin yang meledak. "Udah, Sayang! Kita pergi, ya! Mama sedih kalau Gavin kayak gini."

Perlahan rontaan Gavin mengendur, dan saat itulah aku merasakan tanganku yang menahannya basah dengan air mata, untuk kesekian kalinya hatiku kembali terluka melihat tangis di wajah tampan putraku, rasa sakit yang semakin menjadi saat Gavin berbalik untuk memelukku dengan begitu erat. Tersedu pelan saat dia menyembunyikan wajahnya di bahuku.

"Ayah Gavin Ayah Reyhan kan, Ma? Bukan Om Jahat yang sudah ngatain Mama Sialan!"

Mendengar tanya lirih penuh kesakitan Gavin barusan membuat amarahku kembali bergemuruh, tanpa belas kasihan aku memandang sosok yang mencoba berdiri di hadapanku, dulu aku begitu bodoh, bertekuk lutut pada setiap kalimat manisnya, tidak peduli banyak orang memberikan peringatan kepadaku betapa brengseknya pria yang ada di hadapanku, aku menulikan telinga.

Aku terbuai dengan semua kalimat cinta yang dia katakan dengan penuh kesungguhan.
Aku terlalu yakin dengan pemikiran naif seorang yang memberikan jiwa raganya untuk Bumi Pertiwi Negeri ini tidak akan menyakitiku.
Sungguh aku ingin menertawakan ketololanku, hanya dengan satu kalimat rayuan 'dapat kamu janji aku nggak akan nakal' yang terlontar dari sosoknya yang dahulu begitu menawan, aku terbuai. Saat itu aku merasa aku adalah salah satu perempuan paling beruntung, seperti sebuah kisah Cinderella yang akhirnya bertemu pangerannya, begitu juga diriku. Aku yang hanya seorang SPG sebuah brand kosmetik Korea, ketiban cinta di kejar seorang Taruna yang di gandrungi para mahasiwi yang tentunya beratus kali lebih baik daripada diriku yang hanya tamatan SMA.

Memang benar yang di katakan orang, cinta membuat seseorang menjadi bodoh karena akal sehat tidak di pakai, begitu juga dengan diriku yang mengagungkan kalimat cinta yang di berikan Askara, lengkap dengan segala hal tentang mimpi indah yang di janjikannya. Cinta yang semakin besar setiap harinya karena semua perhatian yang dia berikan.

Cinta yang aku rasakan untuk pertama kalinya, rasa yang membuatku mempercayakan hatiku kepadanya. Sayangnya semua ucapan orang yang awalnya tidak aku indahkan benar terjadi kepadaku. Dia cinta pertamaku, tapi juga patah hati terparahku yang membuatku kehilangan semuanya.
Dia merenggut hatiku dan meninggalkanku begitu saja saat dia mendapatkan semua yang aku miliki. Hatiku, cintaku, kebaikanku, kehormatan, dan juga harga diriku.

Lalu sekarang dia muncul begitu saja di hadapanku. Bertanya dengan kekeuh mengejar seperti orang gila apa Gavin adalah anaknya. Selain brengsek dan jahat, rupanya Perwira Kaya ini juga tidak tahu malu.

Tatapan tajamku melayang kepada Askara yang kini diam memperhatikanku, peduli setan dengan semua pandangan orang yang melihat perdebatan kami dan juga amukan Gavin. Aku tidak peduli.

"Tentu saja dia bukan Ayahmu, Nak. Ayahmu tidak akan mengatai Mama sebagai sesuatu yang sial untuk hidupnya."

Rindu AskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang